Kamis, 06 Juni 2013

Tugas 6 Hukum Industri


KONVENSI INTERNASIONAL

A.                Pengertian Konvensi
       Konvensi adalah suatu perjanjian yang bersifat multilateral. Ketentuan-ketentuannya berlaku bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Misalnya, Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 di Montego-Jamaika. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konvensi diartikan sebagai :
1.        Permufakatan atau kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi)
2.        Perjanjian antarnegara, para penguasa pemerintahan.
      Konvensi bisa merupakan kumpulan norma yang diterima secara umum. Konvensi juga adalah pertemuan sekelompok orang yang secara bersama-sama bertukar pikiran, pengalaman dan informasi melalui pembicaraan terbuka, saling siap untuk mendengar dan didengar serta mempelajari, mendiskusikan kemudian menyimpulkan topik-topik yang dibahas dalam pertemuan dimaksud. Konvensi merupakan suatu kegiatan berupa pertemuan sekelompok orang (negarawan,usahawan, cendekiawan, dan sebagainya) untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Secara umum konvensi merupakan suatu bentuk kebiasaan dan terpelihara dalam praktek serta tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum internasional sebuah konvensi dapat berupa perjanjian internasional tertulis yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan internasional, yurisprudensi atau prinsip hukum umum. Sebuah konvensi internasional dapat diberlakukan di Indonesia, setelah terlebih dahulu melalui proses ratifikasi yang dilakukan oleh DPR.

B.1      Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya seni dan Sastra
Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra, biasa disebut Konvensi Bern atau Konvensi Berne, merupakan persetujuan internasional mengenai hak cipta, pertama kali disetujui di Bern, Swiss pada tahun 1886.
Sebelum penerapan Konvensi Bern, undang-undang hak cipta biasanya berlaku hanya bagi karya yang diciptakan di dalam negara bersangkutan. Akibatnya, misalnya ciptaan yang diterbitkan diLondon oleh seorang warga negara Inggris dilindungi hak ciptanya di Britania Raya, namun dapat disalin dan dijual oleh siapapun di Swiss; demikian pula sebaliknya.
Konvensi Bern mengikuti langkah Konvensi Paris pada tahun 1883, yang dengan cara serupa telah menetapkan kerangka perlindungan internasional atas jenis kekayaan intelektual lainnya, yaitupaten, merek, dan desain industri.
Sebagaimana Konvensi Paris, Konvensi Bern membentuk suatu badan untuk mengurusi tugas administratif. Pada tahun 1893, kedua badan tersebut bergabung menjadi Biro Internasional Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan Intelektual (dikenal dengan singkatan bahasa Prancisnya, BIRPI), di Bern. Pada tahun 1960, BIRPI dipindah dari Bern ke Jenewa agar lebih dekat ke PBB dan organisasi-organisasi internasional lain di kota tersebut, dan pada tahun 1967 BIRPI menjadi WIPO, Organisasi Kekayaan Intelektual Internasional, yang sejak 1974 merupakan organisasi di bawah PBB.
Konvensi Bern direvisi di Paris pada tahun 1896 dan di Berlin pada tahun 1908, diselesaikan di Bern pada tahun 1914, direvisi di Roma pada tahun 1928, di Brussels pada tahun 1948, di Stockholm pada tahun 1967 dan di Paris pada tahun 1971, dan diubah pada tahun 1979.
Pada Januari 2006, terdapat 160 negara anggota Konvensi Bern. Sebuah daftar lengkap yang berisi para peserta konvensi ini tersedia, disusun menurut nama negara atau disusun menurut tanggal pemberlakuannya di negara masing-masing.

B.2      Isi Perjanjian
Konvensi Bern mewajibkan negara-negara yang menandatanganinya melindungi hak cipta dari karya-karya para pencipta dari negara-negara lain yang ikut menandatanganinya (yaitu negara-negara yang dikenal sebagai Uni Bern), seolah-olah mereka adalah warga negaranya sendiri. Artinya, misalnya, undang-undang hak cipta Prancis berlaku untuk segala sesuatu yang diterbitkan atau dipertunjukkan di Prancis, tak peduli di mana benda atau barang itu pertama kali diciptakan.
Namun demikian, sekadar memiliki persetujuan tentang perlakuan yang sama tidak akan banyak gunanya apabila undang-undang hak cipta di negara-negara anggotanya sangat berbeda satu dengan yang lainnya, kaerna hal itu dapat membuat seluruh perjanjian itu sia-sia. Apa gunanya persetujuan ini apabila buku dari seorang pengarang di sebuah negara yang memiliki perlindungan yang baik diterbitkan di sebuah negara yang perlindungannya buruk atau malah sama sekali tidak ada? Karena itu, Konvensi Bern bukanlah sekadar persetujuan tentang bagaimana hak cipta harus diatur di antara negara-negara anggotanya melainkan, yang lebih penting lagi, Konvensi ini menetapkan serangkaian tolok ukur minimum yang harus dipenuhi oleh undang-undang hak cipta dari masing-masing negara.
Hak cipta di bawah Konvensi Bern bersifat otomatis, tidak membutuhkan pendaftaran secara eksplisit. Konvensi Bern menyatakan bahwa semua karya, kecuali berupa fotografi dan sinematografi, akan dilindungi sekurang-kurangnya selama 50 tahun setelah si pembuatnya meninggal dunia, namun masing-masing negara anggotanya bebas untuk memberikan perlindungan untuk jangka waktu yang lebih lama, seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan Petunjuk untuk mengharmonisasikan syarat-syarat perlindungan hak cipta tahun 1993. Untuk fotografi, Konvensi Bern menetapkan batas mininum perlindungan selama 25 tahun sejak tahun foto itu dibuat, dan untuk sinematografi batas minimumnya adalah 50 tahun setelah pertunjukan pertamanya, atau 50 tahun setelah pembuatannya apabila film itu tidak pernah dipertunjukan dalam waktu 50 tahun sejak pembuatannya.
Negara-negara yang terkena revisi perjanjian yang lebih tua dapat memilih untuk memilih untuk memberikan, dan untuk jenis-jenis karya tertentu (seperti misalnya piringan rekama suara dan gambar hidup) dapat diberikan batas waktu yang lebih singkat.
Meskipun Konvensi Bern menyatakan bahwa undang-undang hak cipta dari negara yang melindungi suatu karya tertentu akan diberlakukan, ayat 7.8 menyatakan bahwa "kecuali undang-undang dari negara itu menyatakan hal yang berbeda, maka masa perlindungan itu tidak akan melampaui masa yang ditetapkan di negara asal dari karya itu", artinya si pengarang biasanya tidak berhak mendapatkan perlindungan yang lebih lama di luar negeri daripada di negeri asalnya, meskipun misalnya undang-undang di luar negeri memberikan perlindungan yang lebih lama.

C         KONVENSI HAK CIPTA UNIVERSAL 1955

         Merupakan suatu hasil kerja PBB melalui sponsor UNESCO untuk mengakomodasikan dua aliran falsafah berkaitan dengan hak cipta yang berlaku di kalangan masyarakat inrernasional. Di satu pihak ada sebagian angota masyarakat internasional yang menganut civil law system, berkelompok keanggotaannya pada Konvensi Bern, dan di pihak lain ada sebagian anggota masyarakat internasional yang menganut common law system berkelompok pada Konvensi-Konvebsi Hak Cipta Regional yang terutama berlaku di negara-negara Amerika Latin dan Amerika serikat.
         Untuk menjembatani dua kelompok yang berbeda sistem pengaturan tentang hak cipta ini, PBB melalai UNESCO menciptakan suatu kompromi yang merupakan: “A new common dinamisator convention that was intended to establist a minimum level of international copyright relations throughout the world, without weakening or supplanting the Bern Convention”.
Pada 6 September 1952 untuk memenuhi kepatuhan adanya suatu Common Dinaminator Convention lahirlah Universal Copyright Convention (UCC) yang ditandalangani di Jenewa kemudian ditindaklanjuti dengan 12 ratifikasi yang diperlukan untuk berlakunya pada 16 September 1955. Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan menurut Pasal 1 konvensi antara lain:
1.  Adequate and Effective Protection. Menurut Pasal I konvensi setiap negara peserta perjanjian berkewajiban memberikan perlindungan hukum yang memadai dan efektif terhadap hak-hak pencipta dan pemegang hak cipta.
2.      National Treatment. Pasal II menetapkan bahwa ciptaan-ciptaan yang diterbitkan oleh warga negara dari salah satu negara peserta perjanjian dan ciptaan-ciptaan yang diterbitkan pertama kali di salah satu negara peserta perjanjian, akan meemperoleh perlakuan perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diberikan kepada warga negaranya sendiri yang menerbitkan untuk pertama kali di negara tempat dia menjadi warga negara.
3.      Formalities. Pasal III yang merupakan manifestasi kompromistis dari UUC terhadap dua aliran falsafah yang ada, menetapkan bahwa suatu negara peserta perjanjian yang menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya syarat-syarat tertentu sebagai formalitas bagi timbulnya hak cipta, seperti wajib simpan (deposit), pendaftaran (registration), akta notaries (notarial certificates) atau bukti pembayaran royalti dari penerbit (payment of fee), akan dianggap rnerupakan bukti timbulnya hak cipta, dengan syarat pada ciptaan bersangkutan dibubuhkan tanda c dan di belakangnya tercantum nama pemegang hak cipta kemudian disertai tahun penerbitan pertama kali.
4.    Duration of Protection. Pasal IV, suatu jangka waktu minimum sebagi ketentuan untuk perlindungan hukum selama hidup pencipta ditambah paling sedikit 25 tahun setelah kematian pencipta.
5.  Translations Rights. Pasal V, hak cipta mencakup juga hak eksklusif pencipta untuk membuat, penerbitkan, dan memberi izin untuk menerbitkan suatu terjemahan dari ciptaannya. Namun setelah tujuh tahun terlewatkan, tanpa adana penerjemahan yang, dilakukan oleh pencipta, negara peserta konvensi dapat memberikan hak penerjemahan kepada warga negaranya dengan memenuhi syarat-syarat seperti ditetapkan konvensi.
6.        Juridiction of the international Court of Justice. Pasal XV, suatu sengketa yang timbul antara dua atau lebih negara anggota konvensi mengenai penafsiran atau pelaksanaan konvensi, yang tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat. dapat diajukan ke muka Mahkamah lnternasional untuk dimintakan penyelesaian sengketa yang diajukan kecuali jika pihak-pihak yang bersengketa bersepakat untuk memakai cara lain.
7.        Bern safeguard Clause. Pasal XVII UCC beserta appendix merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari pasal ini, merupakan salah satu sarana penting untuk pemenuhau kebutuhan ini.

Selain kedua konvensi di atas yang mengatur mengenai hak cipta, beberapa konvensi lainnya yang juga mengatur tentang hak cipta adalah Konvensi Jenewa 1971.

D.1      Konvensi Jenewa
Konvensi-konvensi Jenewa meliputi empat perjanjian (treaties) dan tiga protokol tambahan yang menetapkan standar dalam hukum internasional (international law) mengenai perlakuan kemanusiaan bagi korban perang. Istilah Konvensi Jenewa, dalam bentuk tunggal, mengacu pada persetujuan-persetujuan 1949, yang merupakan hasil perundingan yang dilakukan seusai Perang Dunia II. Persetujuan-persetujuan tersebut berupa diperbaharuinya ketentuan-ketentuan pada tiga perjanjian yang sudah ada dan diadopsinya perjanjian keempat. Rumusan keempat perjanjian 1949 tersebut ekstensif, yaitu berisi pasal-pasal yang menetapkan hak-hak dasar bagi orang yang tertangkap dalam konflik militer, pasal-pasal yang menetapkan perlindungan bagi korban luka, dan pasal-pasal yang menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di sekitar kawasan perang. Keempat perjanjian 1949 tersebut telah diratifikasi, secara utuh ataupun dengan reservasi, oleh 194 negara.
Konvensi-konvensi Jenewa tidak berkenaan dengan penggunaan senjata perang, karena permasalahan tersebut dicakup oleh Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 dan Protokol Jenewa. "Orang yang dilindungi berhak, dalam segala keadaan, untuk memperoleh penghormatan atas dirinya, martabatnya, hak-hak keluarganya, keyakinan dan ibadah keagamaannya, dan kebiasaan serta adat-istiadatnya. Mereka setiap saat diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi, terutama terhadap segala bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan dan keingintahuan publik.
Perempuan dilindungi secara istimewa terhadap setiap penyerangan atas martabatnya, terutama terhadap pemerkosaan, pelacuran paksa, atau setiap bentuk penyerangan tidak senonoh (indecent assault). Tanpa merugikan ketentuan-ketentuan mengenai keadaan kesehatan, usia, dan jenis kelamin, semua orang yang dilindungi diperlakukan dengan penghormatan yang sama oleh Peserta konflik yang menguasai mereka, tanpa pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan pada, terutama, ras, agama, atau opini politik. Namun, Peserta konflik boleh mengambil langkah-langkah kontrol dan keamanan menyangkut orang-orang yang dilindungi sebagaimana yang mungkin diperlukan sebagai akibat dari perang yang bersangkutan." (Pasal 27, Konvensi Jenewa Keempat)

D.2      Sejarah
Pada tahun 1862, Henry Dunant menerbitkan bukunya, Memoir of Solferino (Kenangan Solferino), mengenai kengerian perang. Pengalaman Dunant menyaksikan perang mengilhaminya untuk mengusulkan:
1.        dibentuknya perhimpunan bantuan yang permanen untuk memberikan bantuan kemanusiaan pada masa perang, dan
2.        dibentuknya perjanjian antarpemerintah yang mengakui kenetralan perhimpunan tersebut dan memperbolehkannya memberikan bantuan di kawasan perang.
Usulan yang pertama berujung pada dibentuknya Palang Merah (Red Cross) sedangkan usulan yang kedua berujung pada dibentuknya Konvensi Jenewa Pertama. Atas kedua pencapaian ini, Henry Dunant pada tahun 1901 menjadi salah seorang penerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang untuk pertama kalinya dianugerahkan.
Kesepuluh pasal Konvensi Jenewa Pertama diadopsi untuk pertama kalinya pada tanggal 22 Agustus 1864 oleh dua belas negara. Clara Barton memainkan peran penting dalam mengkampanyekan peratifikasian Konvensi Jenewa Pertama oleh Amerika Serikat, yang akhirnya meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1882.
Perjanjian yang kedua diadopsi untuk pertama kalinya dalam Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Laut, yang ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1906 dan secara spesifik berkenaan dengan anggota Angkatan Bersenjata di laut. Perjanjian ini dilanjutkan dalam Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang, yang ditandatangani pada tanggal 27 Juli 1929 dan mulai berlaku pada tanggal 19 Juni 1931. Terinspirasi oleh gelombang antusiasme akan kemanusiaan dan perdamaian yang muncul seusai Perang Dunia II dan oleh kegusaran publik atas berbagai kejahatan perang yang terungkap dalam Pengadilan Nuremberg, maka pada tahun 1949 diadakan serangkaian konferensi dengan hasil berupa diteguhkan, diperluas, dan diperbaharuinya ketiga Konvensi Jenewa yang sudah ada dan diadopsinya Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, sebuah perjanjian yang baru dan rinci.
Meskipun sudah cukup rinci, di kemudian hari perjanjian-perjanjian tersebut didapati masih belum lengkap. Justru, hakikat konflik bersenjata (armed conflicts) itu sendiri mengalami perubahan sejak dimulainya era Perang Dingin sehingga banyak pihak akhirnya berpendapat bahwa Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menyikapi realitas yang sebagian besar sudah punah. Di satu pihak, sebagian besar konflik bersenjata yang terjadi dalam era Perang Dingin adalah konflik bersenjata internal atau perang saudara. Di lain pihak, semakin banyak dari perang yang terjadi adalah perang asimetris. Lebih-lebih, konflik bersenjata moderen memakan korban yang semakin lama semakin banyak di kalangan orang sipil.
Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan kebutuhan untuk menyediakan perlindungan yang nyata bagi orang dan objek sipil pada masa konflik bersenjata, dan ini berarti perlunya dilakukan pembaharuan terhadap Konvensi Den Haag 1899 dan 1907. Dengan mengingat perkembangan-perkembangan tersebut, maka pada tahun 1977 diadopsi dua Protokol yang memperluas Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dengan sejumlah ketentuan yang memberikan perlindungan tambahan. Pada tahun 2005, sebuah Protokol ketiga diadopsi pula. Protokol yang ringkas ini menetapkan sebuah tanda perlindungan (protective sign) tambahan bagi dinas kesehatan angkatan bersenjata, yaitu Kristal Merah, sebagai alternatif untuk lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang dipakai di mana-mana itu, yaitu bagi negara-negara yang merasa kedua lambang ini kurang tepat.

D.3      Konvensi dan Persetujuanya
Konvensi-konvensi Jenewa terdiri dari berbagai aturan yang berlaku pada masa konflik bersenjata, dengan tujuan melindungi orang yang tidak, atau sudah tidak lagi, ikut serta dalam permusuhan, antara lain:
1.        kombatan yang terluka atau sakit
2.        tawanan perang
3.        orang sipil
4.        personel dinas medis dan dinas keagamaan

 

D.4      Konvensi 

Dalam ranah diplomasi, istilah konvensi mempunyai arti yang lain dari artinya yang biasa, yaitu pertemuan sejumlah orang. Dalam diplomasi, konvensi mempunyai arti perjanjian internasional atau traktat. Ketiga Konvensi Jenewa yang terdahulu direvisi dan diperluas pada tahun 1949, dan pada tahun itu juga ditambahkan Konvensi Jenewa yang keempat.
1.        Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864
2.        Konvensi Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906
3.        Konvensi Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai PerlakuanTawanan Perang, 1929
4.        Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, 1949
Satu rangkaian konvensi yang terdiri dari empat konvensi ini secara keseluruhan disebut sebagai “Konvensi-konvensi Jenewa 1949” atau, secara lebih sederhana, “Konvensi Jenewa”.

 

D.5      Protokol 

Konvensi-konvensi Jenewa 1949 telah dimodifikasi dengan tiga protokol amandemen, yaitu:
1.        Protokol I (1977), mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional
2.        Protokol II (1977), mengenai Perlindungan Konflik Bersenjata Non-internasional
3.        Protokol III (2005), mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan

 

D.6      Aplikasi 

Konvensi-konvensi Jenewa berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut. Ketentuan rinci mengenai aplikabilitas Konvensi-konvensi Jenewa diuraikan dalam Pasal 2 dan 3 Ketentuan yang Sama. Masalah aplikabilitas ini telah menimbulkan sejumlah kontroversi. Ketika Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus merelakan sebagian tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national sovereignty) untuk dapat mematuhi hukum internasional. Konvensi-konvensi Jenewa bisa saja tidak sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai budaya sebuah negara tertentu. Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa menyediakan keuntungan bagi individu, tekanan politik bisa membuat pemerintah menjadi enggan untuk menerima tanggung jawab yang ditimbulkan oleh konvensi-konvensi tersebut.

 

D.7      Kuasa Perlindungan 

Istilah kuasa perlindungan (protecting power) mempunyai arti spesifik berdasarkan Konvensi-konvensi ini. Kuasa perlindungan ialah sebuah negara yang tidak ikut serta dalam sebuah konflik bersenjata tetapi setuju untuk mengurus kepentingan sebuah negara lain yang menjadi peserta konflik tersebut. Kuasa perlindungan berfungsi sebagai mediator yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara pihak-pihak peserta konflik. Kuasa perlindungan juga berfungsi memantau implementasi Konvensi-konvensi ini, misalnya dengan cara mengunjungi kawasan konflik dan tawanan perang. Kuasa perlindungan harus bertindak sebagai pendamping (advocate) bagi tawanan, korban luka, dan orang sipil.

 

D.8      Pelanggaran berat 

Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches) dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime). Pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Kedua dan Ketiga antara lain adalah tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi oleh konvensi tersebut:
1.        pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi
2.        dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan
3.        memaksa orang untuk berdinas di angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan
4.        dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang
Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Keempat:
1.        penyanderaan
2.        penghancuran dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan.
3.        deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum
Negara yang menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut. Negara-negara juga berkewajiban mencari orang yang diduga telah melakukan kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan tersebut, serta mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang tersebut dan di mana pun kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini juga berlaku bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat. Untuk tujuan itulah maka Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi.

E.        UCC (Universal Copyright Convention)
        Konvensi Hak Cipta Universal (atau Universal Copyright Convention), disepakati di Jenewa pada 1952. UCC merupakan salah satu dari dua konvensi internasional utama melindungi hak cipta. Konvensi lain yang dimaksud adalah Konvensi Bern. UCC dikembangkan oleh United Nations Educational (Ilmu Pengetahuan dan Budaya) sebagai alternatif dari Konvensi Bern. Konvensi ini disepakati agar negara-negara yang tidak setuju dengan aspek-aspek dari Konvensi Bern, tapi masih ingin berpartisipasi dalam beberapa bentuk perlindungan hak cipta multilateral.
         Konvensi Hak cipta Universal merupakan Hasil kerja PBB melalui sponsor UNESCO. Tujuan adanya konvensi ini yaitu untuk menjembatani dua kelompok masyarakat internasional: civil law system (anggota konvensi Bern) dan common law system (anggota konvensi hak cipta regional di negara-negara Amerika Latin dan Amerika Serikat).
        Konvensi ini kemudian berkembang dan ditindaklanjuti dengan 12 ratifikasi pada tanggal 16 September 1955. Konvensi ini melindungi karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan orang-orang pelarian. Hal ini berarti bahwa secara internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan atau orang-orang pelarian, perlu dilindungi. Dengan demikian salah satu dari tujuan perlindungan hak cipta tercapai.
         Dalam hal ini kepentingan negara-negara berkembang di perhatikan dengan memberikan batasan-batasan tertentu terhadap hak pencipta asli untuk menterjemahkan dan diupayakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan.
            Perbandingan antara kedua konvesi internacional tersebut, yaitu kalau konvensi bern menganut dasar falsafah Eropa yang mengaggap hak cipta sebagai hak alamiah dari pada si pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang memberikan hak monopoli. Sedangkan Universal Copyright Convention mencoba untuk mempertemukan antara falsafah Eropa dan Amerika, yang memandang hak monopoli yang diberikan kepada si pencipta diupayakan pula untuk memperhatikan kepentingan umum. Universal Copyright Conventionmengganggap hak cipta ditimbulkan oleh karena adanya ketentuan yang memberikan hak seperti itu kepada pencipta. Oleh karena itu, ruang lingkup dan pengertian hak mengenai hak cipta itu dapat ditentukan oleh peraturan yang melahirkan hak tersebut.


Sumber:
www.wikipedia .com
http://hukum2industri.wordpress.com/2011/06/07/konvensi-internasional-tentang-hak- cipta/