Dinamika Kota Bogor
Secara historis,
pertama kali wilayah Bogor dikenal sebagai pusat Kerajaan Pakuan-Padjadjaran.
Dalam klasifikasi kota pedalaman, kota Bogor tumbuh di sekitar keraton yang
ada. Fungsi kita itu adalah memberikan berbagai barang dan jasa untuk keraton,
sementara kota-kota itu juga menikmati kemegahan yang melimpah dari istana
kerajaan serta sisa-sisa kemewahan, dari kehidupan mewah yang ada di dalam
keratin. Nama wilayah Bogor pada masa Kerajaan Pakuan-Padjadjaran adalah Dayeuh
yang diperintah oleh seorang rajanya yang paling terkenal, yaitu Sri Baduga
Maharaja atau yang diyakini pula sebagai Prabu Siliwangi yang memerintah sejak
tanggal 3 Juni 1482.
Namun demikian
kekuasaan Pakuan-Padjadjaran runtuh manakala terjadi serangan yang dilakukan
Kesultanan Banten di bawah komando Sultan Hasanudin pada tahun 1579. Kemudian
bekas-bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Pakuan-Padjadjaran terbagi ke dalam
beberapa kekuasaan. Di bagian timur berada dalam kekuasaan Cirebon, di sebelah
barat berada di bawah kekuasaan Banten, sedangkan wilayah Bogor sendiri berada
di bawah penguasaan langsung Pangeran Jayakarta. Akibat dari penyerangan ini
tidak saja mengakibatkan kehancuran ibukota kerajaan, tetapi juga pembunuhan
masal masyarakat di sekitarnya sehingga dapat dikatakan rantai sejarah
keberadaan wilayah ini dapat dikatakan hilang sama sekali. Jejak-jejak
sejarah dapat dikatakan berputar ketika orang-orang Eropa mulai menguasai
Hindia Timur, tepatnya sejak tahun 1677 ketika Kompeni Belanda mulai menguasai
wilayah kedaulatan Pangeran Jayakarta, yakni Batavia hingga ke wilayah Bogor.
Setelah mealukan tiga
kali ekspedisi,akhirnya di bawah pimpinan Letnan berhasil didirikan sebuah
perkampungan yang dinamakan Kampung Baru di sekitar wilayah Tanah Baru
sekarang. Dalam perkembangannnya, Kampung Baru kemudian menjadi pusat
kampung-kampung lainnya yang muncul kemudian di sekitar wilayah Bogor
(Danasasmita, 1983 :83). Walaupun begitu, secara resmi baru pada tahun 1745
terjadi penggabungan kampung-kampung tersebut di bawah nama Kabupaten Kampung
Baru. Namun demikian lima tahun sebelum perisitwa pembentukan kabupaten itu
terjadi, terdapat sebuah peristiwa penting di kota ini, yaitu pembantukan Vila
Buitenzorg atas perintah Baron Van Imhoff pada tahun 1745. Gubernur Jenderal
ini merasakan suasana lingkungan Kota Batavia tidak lagi kondusif untuk
dijadikan tempat tinggal. Untuk itu ia kemudian mencari sebuah daerah strategis
yang mempunyai hawa sejuk, nyaman, dan tenang, namun letaknya tidak jauh dari
Bogor.
Atas dasar itulah
kemudian Bogor dijadikan pilihan utama. Berdasarkan fungsi sebagai tempat
peristirahatan wilayah Bogor kemudian lebih populer dengan nama Buitenzorg yang
artinya kota tanpa kesibukan. Pada masa Daendels, Vila Buitenzorg ini kemudian
beralih fungsi menjadi tempat kedudukan resmi Gubernur Hindia Belanda, yang
peresmiannya sebenarnya baru berlangsung pada tahun 1866 melalui surat
Keputusan gubernur Jenderal Hindia-Belanda No.11 tahun 1866. Status in
berlangsung sampai dengan masa Pendudukan Jepang Bahkan, status Kota Bogor
tidak hanya sebatas itu saja menyusul keputusan pemindahan pusat admisitratif
Hindia Belanda ke kota ini dengan didirikannya kantor Algemeene
Secretarie pada tahun 1888.
Pada tahun 1905 adalah
sebuah episode baru dalam perkembangan Buitenzorg. Hal ini disebabkan karena
sejak tahun ini Buitenzorg secara resmi lepas dari Batavia dan diberikan
otonomi sendiri berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda No.208 pada tahun 1905. Sejak saat itu juga secara resmi berdiri
sebuah pemerintahan otonom Geemente dengan luas wilayah 22 kmr2 yang terdiri atas dua distrik dan tujuh desa
dan diproyeksikan dapat menampung penduduk sebanyak 30.000 jiwa. Gemeente ini
sendiri dipimpin oleh seorang Burgemeenter dan corak
pemerintahan ini berlangsung sampai dengan masa Pendudukan Jepang.
Reformasi
istilah-istilah di bidang pemerintahan mulai dilakukan. Istilah Si (Gemmente) Sya (keresidenan), Ken(kabupaten), Gun (kewedanaan), Son (kecamatan),
dam Ku (desa/kelurahan) sejak Jepang mulai menduduki Hindia-Belanda.
Peyebutan pemimpin masing-masing satuan pemerintahan ini dilakukan dengan
menambahkan Co saja. Misalkan, Syuco untuk menyebut
residen, Kenco untuk bupati, dan sebagainya.,Di samping itu
dilakukan juga penggantian nama Buitenzorg menjadi nama Bogor sebagai nama
resmi kota ini.
Setelah memasuki masa
Kemerdekaan, Bogor masih sempat menggunakan mengunakan Si dengan
pimpinannya Sico yang pada waktu itu dijabat oleh R. Odang
Prawiradipraja yang hanya memerintah selama satu tahun (1945-1946). Selanjutnya
karena Bogor kemudian dikuasai oleh Belanda, maka diangkatlah soerang Burgemeenter,
yaitu J.J. Penoch yang memerintah selama dua tahun (1948-1950). Namun setelah
itu Bogor berstatus Kota Praja dengan pemimpinnya R. Djoekardi. Setelah terjadi
pergantian satatus pemerintahan dari Kota Praja menjadi Pemerintah Kota Besar,
dan Pemerintah Kota Madya, berturut-turut Bogor dipimpin oleh Kartadjumena(
1952-1956), Pramono Notosudiro (1956-1959), Abdul Rachman (1960-1961) dan Ahmad
Adnawijaya (1961-1965). Perubahan kembali terjadi setelah terjadinya pergantian
Orde Lama ke Orde Baru. Sejak era ini, seorang kepala daerah mempunyai dua
fungsi, yaitu sebagai sebagai orang daerah dan juga sebagai orang pusat
yang memiliki kewenangan untuk menjalankan pemerintahan.
Pada masa kepemimpinan
Achmad Syam (1 September 1965-7 Maret 1979), fokus utama pembangunan wilayah
Bogor terletak pada penataan wilayah yang semula terdiri dari dua wilayah
admistratif, yaitu Kecamatan Kota Kaler dan Kecamatan Kota Kidul. Namun sejak
diedarkannya Surat Keputusam Walikota Bogor No. 5422/1/68.a, Bogor kemudian
terbagi atas lima wilayah admistratif, 16 wilayah administratif lingkungan.
Achmad Syam kemudian digantikan oleh Achmad Sobana (7 Maret 1979-7 Maret 1984).
Sasaran utama pemenrintahhnya masih sama, yaitu pemekaran wilayah Bogor untuk
mengefisienkan pelayanan administrasi pemerintahan. Oleh karena itu dilakukan
pemekaran di beberapa wilayah, seperti Kecamatan Bogor Timur, Bogor Utara, dan
Bogor Selatan. Namun rencana pemekaran ini baru berhasil direalisasikan pada
masa pemerintahan Ir. Muhammad (7 Maret 1984-7 Maret 1989) yang ditandai dengan
pergantian nama lingkungan menjadi kelurahan dan realisasi pemekaran Kecamatan
Tanah Sareal sehingga Bogor secara resmi terdiri dari lima wilayah administrartif.
Di samping itu terjadi
juga peningkatan jumlah kelurahan dari 16 menjadi 22 kelurahan dengan luas
wilayah 2.156 hektar dan jumlah penduduk tahun 1988 adalah 284.558 jiwa.
Penggantinya, Suratman kemudian lebih memfokuskan pada penataan wilayah Kota
Bogor (7 Maret 1989-7 Maret 1994). Baru pada zaman Edi Gunardi, realisasi
penataan ruang ini terealisasi dengan meluasnya wilayah Kota Bogor menjadi
11.850 hektar dan jumlah penduduk 584.884 jiwa. Selanjutnya pada masa
pemerintahan Iswara Natanegara (1999-2004) boleh dikatakan merupakan masa
pemerintahan walikota tersukses. Hal itu tidak saja ditujukkan dengan perubahan
status desa menjadi kelurahan tetapi juga pelayanan publik menjadi prioritas
sehingga tidak heran Iswara mendapat 28 penghargaan dan menjadi walikota yang
menerima penghargaan terbanyak. Penggantinya Diani Budiarto (2004-200)
dikatakan merupakan pemerintahan yang kontroversial. Hal ini dikarenakan
wakilnya M. Sahid dinonaktifkan sehingga Diani Budiarto harus
menyelesaikkan sendiri rencana pemerintahan Kota Bogor yang
meliputi kebersihan kota, penataan pedagang kaki lima, penataan
transportasi, dan kemiskinan.
Perkembangan
Masyarakat Kota Bogor
Seperti yang telah
dijelaskan di atas, Bogor atau Dayeuh adalah pusat Kerajaan Pakuan Padjadjaran.
Dari keterangan yang didapatkan, kota ini pernah berpenghuni 50.000 jiwa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kota ini, pada awalnya, didominasi oleh
orang-orang Sunda. Namun demikian, semenjak Kerajaan Pakuan Padjadjaran
dimusnahkan oleh Kesultanan Banten dapat dikatakan hampir sebagian besar
penduduk kota itu tidak diketahui nasibnya. Hal itu kemudian dibuktikan pada
ekspedisi yang dilakukan oleh orang-orang Belanda yang tidak menemukan
tanda-tanda pemukimanpenduduk di bekas Kerajaan Pakuan-Padjadjaran
tersebut, kecuali di beberapa tempat yang letaknya agak jauh dari pusat
kerajaan. Namun demikian, terdapat pula sekitar 7-8 orang-orang eks laskar
Mataram yang meminta perlindungan kepada Kesultanan Banten menyusul penyerangan
yang gagal terhadap Batavia. Para eks-laskar Mataram ini kemudian
diizinkan untuk menetap di wilayah Bogor, tepatnya di pinggir kali Ciliwung.
Setelah Tanuwijaya
mendirikan kampung pertama di wilayah Tanah Baru sekarang, dengan nama Kampung
Baru yang merupakan koloni pribumi pertama di Buitenzorg, menyusul didirikan
beberapa kampung lainnya. Namun yang perlu diperhatikan disini adalah letak
kampung-kampung tersebut berada di luar pusat Kota Bogor sekarang. Keberadaan
kampung pribumi pertama di pusat Kota baru diketahui sejak berdirinya koloni
pribumi di areal halaman Vila Buitenzorg dengan nama Kampung Bogor. Masyarakat
kampung inilah yang merintis aktivitas perdagangan di pusat kota yang salah
satunya adalah mendirikan pasar yang terkenal dengan nama Pasar Bogor. Pada
awalnya pasar ini hanya buka dua hari dalam satu minggu, namun karena
perkembangan aktivitas perdagangannya, kemudian pasar ini kemudian buka setiap
hari sampai sekarang. Bahkan kelak kemasyuran pasar ini membuat para pendatang
dari etnis Tionghoa datang dan bahkan bermukim di sekitar pasar kebanggan warga
Bogor ini.
Thung Ju Lan
berpendapat bahwa masyarakat di pusat Buitenzorg mulai beragam semenjak tahun
1790-an. Artinya, dengan mengaitkan keberadaan Kampung Bogor, Pasar Bogor, dan
perkembangan perkampungan Tionghoa, setidaknya dapat disimpulkan bahwa ada tiga
kelompok masyarakat di Buitenzorg pada saat itu, yaitu Eropa (khususnya
Belanda), Timur-Asing (Tionghoa), dan Pribumi (Kampung Bogor). Berkaitan dengan
itu, Sopandi juga mendukung peryataan itu. Ia memetakan pemukiman-pemukiman
yang terdapat di Buitenzorg ke dalam tiga kawasan, yaitu Zona Eropa yang
meliputi sekeliling Kebun Raya, Jalan Ir. Juanda (untuk keperluan perkantoran
dan pemukiman), hingga daerah Ciwaringin di utara, dan Taman Kencana di timur.
Seiring dengan diberlakukannya Sedangkan kawasan Pecinan terletak di
sepanjang Handelstraat atau Jalan Suryakencana sekarang yang
berfungsi sebagai pusat perekonomian Buitenzorg Untuk masyarakat pribumi,
sebenarnya tidak ada wilayah khusus, tetapi harus berada di luar pusat kota
Bitenzorg (Sopandi,).
Pola pemukiman
model ini sebenarnya merupakan standar kota-kota kolonial di Hindia-Belanda
atau yang dikenal dengan kebijakanWijkenstelsel, namun di Buitenzorg
sendiri peraturan ini tidak dijalankan secara ketat sehingga hubungan antara
orang-orang Eropa, Tionghoa, dan Pribumi dapat terjalin secara harmonis.
Memasuki awal abad
ke-20, populasi penduduk Buitenzorg, terutama dari golongan Eropa dan Tionghoa
semakin meningkat. Hal inilah ynag mengakibatkan Buitenzorg diberikan otonomi
khusus dengan status Gemeente. Dari kalkulasi yang pernah dilakukan
tercatat bahwa jumlah pendudujk Afdeling Buitenzorg pada periode 1843 adalah
46.135 jiwa yang kemudian meningkat pada tahun 1845 dengan jumlah
58.614 jiwa. Sedangkan pada tahun 1849 jumlah penduduknya adalah 64.446 jiwa
dan pada tahun 1861 menigkat menjadi 81.355 jiwa. Lonjakan yang cukup besar
mulai dirasakan sejak tahun 1905 dan semakin melonjak saat dilakukan pecatatan
penduduk tahun 1930. Peningkatan jumlah penduduk ini, selain dipengaruhi oleh
peningkatan status administratif Buitenzorg, juga dipengaruhi juga oleh
perkembangan perekonomian kota, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan
regional dan tempat transit aliran barang menuju Batavia. Dalam hal ini,
perkembangan ini didukung oleh sarana dan prasarana transportasi yang
berkembang dengan cukup baik, terutama jalan raya dan pembangunan rel kereta
api 1873 yang melayani rute Batavia-Buitenzorg.
Memasuki alam
kemerdekaan, khususnya setelah revolusi fisik berakhir, Kota Bogor kemudian
membenahi diri khususnya mengenai pembagian wilayah administrasi dan pengaturan
tata ruang kota. Setelah dua hal itu selesai, kemudian Kota Bogor juga
diikutsertakan dalam proyek pembangunan kawasan Jabotabek pada tahun 1970-an
yang berfungsi untuk mengurangi migrasi penduduk ke Jakarta, Artinya, Bogor
diharapkan dapat dijakdikan pemukiman alternatif selain Tangerang dan Bekasi.
Mulai saat itu Kota Bogor setiap tahunnya mengalami lonjakan penduduk yang
signifikan. Pada tahun 1971 jumlah penduduk Kota Bogor adalah 196.815 jiwa
sedangkan pada tahun 1981 jumlah penduduknya meningkat menjadi 246.052.
Memasuki periode tahun
1990-an sampai dengan sekarang, semakin meningkatnya mobilitas penduduk, baik
dari wilayah maupun luar wilayah pulau Jawa sendiri membuat Kota Bogor semakin
sesak. Pertambahan penduduik ini sangat mudah diamati dengan melihat
perkembangan pemukiman-pemukiman penduduk di sekitar wilayah Kota
Bogor. Dalam penghitungan penduduk tahun 2006 tercatat total keselurahan
penduduk di Kota Bogor adalah 750.250 jiwa
(http://www.kotabogor.go.id/demografi.htm). Di samping itu, dapat pula dilihat
jumlah pemukiman yang berjumlah lebih dari seratus perumahan.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa, perkembangan penduduk mulai dirasakan semenjak Buitenzorg
dijadikan kedudukan resmi Gubernur Hindia Belanda pada awal abad ke-19.
Bersamaan dengan itu tumbuh pula potensi ekonomi kota yang didukung oleh sarana
transportasi yang memadai. Memasuki masa kemerdekaan, khususnya pada masa Orde
Baru, Kota Bogor tumbuh sebagai kota berbasis pemukiman para pekerja yang
mencari nafkah di Jakarta. Hal ini sangat terlihat ketika kita melihat
mengamati jumlah pemukiman yang dibangun di Kota Bogor.
Kehidupan Masyarakat
Kota Bogor
Sejak zaman Kolonial
sampai dengan sekarang, masyarakat Kota Bogor telah mengalami perkembangan yang
cukup signifikan. Hal ini tentu saja membawa pengaruh , khususnya di dalam
kehidupan kemasyarakatan. Namun, harus pula dipahami terlebih dahulu bahwa Kota
Bogor terletak di perbatasan antara Propinsi Jawa Barat dan Propinsi DKI
Jakarta. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya, baik
dilihat dari segi kehidupan ekonomi, sosial, maupun budaya. Bahkan, terkadang,
Kota Bogor diklasifikasikan sebagai bagian dari Propinsi DKI Jakarta,
namun sebenarnya Kota Bogor juga tidak dapat dipisahkan dari kesatuan Propinsi
Jawa Barat.
Berkaitan dengan itu,
dalam perkembangannya, Masyarakat Kota Bogor memiliki dinamakan kehidupan yang
sangat beragam. Namun, secara umum, dapatlah dilihat dua corak utama
kehidupan masyarakat Kota Bogor, yaitu masyarakat asli Kota Bogor yang dapat
dikelompokkan sebagai masyarakat tradisional yang masih menggantungkan
hidupanya dari pertanian dan biasanya berdomisili di wilayah pedalaman Kota
Bogor serta masih kuat dalam menjalankan budayanya. Sedangkan masyarakat
pendatang yang diklasifikasikan sebagai masyarakat moderen bertempat tinggal di
pusat Kota Bogor. Mereka biasanya mengkonsentrasikan bidang pekerjaannya di
institusi pemerintahan dan swasta, baik sebagai pegawai, pedagang, penyedia
jasa dan sebagainya. Namun demikian, dalam bidang budaya merek terseret oleh
budaya moderen kota sehingga budaya lokal yang mereka bawa semakin terkikis.
Untuk memudahkan dalam
mengamati kehidupan masyarakat Kota Bogor, maka dalam makalah aspek kehidupan
akan dikhususkan pada bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Kehidupan ekonomi
Masyarakat Kota Bogor dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu kehidupan
ekonomi tipe pasar dan kehidupan ekonomi tipe perusahaan atau firma .Pendukung
kehidupan ekonomi tipe pertama adalah adalah masyarakat yang tinggal di
pinggiran Kota Bogor. Masyarakat ini masih terikat pada faktor alam, seperti
tanah, pertanian, dan musim. Di samping itu pula mereka bukan tergolong
masyarakat yang mengutamakan rasionalitas, efisiensi, dan profit
oriented. Adapun kehidupan ekonomi pedesaan ini dapat pula dikelompokkan
menjadi pertanian, peternakan dan perikanan, Perdagangan,Kerajinan,
Industri Rumah Tangga, dan Buruh. Sedangkan masyarakat pendukung kehidupan
ekonomi tipe kedua adalah masyarakat perkotaan yang tinggal di pusat kota..
Mereka lebih cenderung mengembangkan usaha di bidang perusahaan dan perindustrian.
Adapun masyarakat tipe ini mendapat sokongan infrastruktur yang kuat,
organisasi dan manjemen yang solid, rasional, dan efisien, serta berorientasi
pada keuntungan. Kehidupan ekonomi perusahaan atau firma ini terdiri dari
berbagai macam sub-bidang, seperti tekstil, percetakan,perusahaan konstruksi
bangunan, perusahaan-perusahaan perdagangan,pemrosesan metal, dan sebagainya.
Dalam kehidupan
sosial, Masyarakat Kota Bogor pun terklasifikasi ke dalam masyarakat pedesaan
yang merupakan penduduk asli Kota Bogor, dan masyarakat perkotaan yang
merupakan penduduk pedatang Kota Bogor. Namun dalam perkembanganntya interaksi
diantara dua kelompok masyarakat ini tergolong intens karena pada kenyataannya
keduanya saling membutuhkan. Berkaitan dengan hal tersebut, karena kepentingan
ekonomi orang-orang perkotaan, masyarakat desa secara perlahan-lahan telah
berorientasi ke luar. Artinya, terjadi revolusi struktur masyarakat
pedesaan yang tidak lagi didasarkan pada tanah tetapi pada mata pencaharian
memang masih ada masyarakat yang tetapi dalam pengolahan hasil pertaniannya
banyak mengunakan tekonlogi yang tepat guna sehingga dapat menghasilkan
keuntungan.
Namun, sebagian besar masyarakat desa kemudian mengadakan migrasi
ke luar desa untuk mengadu nasib di perkotaan. Namun, mereka pun masih
mempertahankan tempat tinggal dan juga pekerjaan lama mereka, terutama dalam
bidang pertanian.. Oleh karena itu banyak diantara masyarakat desa seperti itu
memilih menjadi migran musiman atau commnuting (migran yang
pulang-pergi). Pada sisi lain, masyarakat kota pun mengalami perubahan dalam
bidang sosial pula. Hal ini mulai terasa sejak memasuki abad ke-20 menakala
terjadi kebangkitan golongan menegah yang kemudian menyisihkan
golongan-golongan priyayi. Mereka kemudian banyak bergelut dalam
bidangperdagangan dan industri yang mengakibatkan terjadi mobilitas
sosial yang menonjol di kalangan masyarakat pribumi. Di samping itu pula,
mobilitas sosial dapat pula disebabkan oleh faktor pendidikan. Sejak
pengangkatan pegawai negeri didasarkan oleh tingkat pendidikan seseorang,
banyak diantara orang-orang pribumi yang bersekolah demi mendapatkan pekerjaan
itu.
Perkembangan zaman kemudian telah mengakibatkan interaksi sosial antara
dua tipe masyarakat ini semakin intens. Hal itu disebabkan oleh. Beberapa
faktor seperti desa merupakan tulang punggung perekonomian kota, komersialisasi
hasil-hasil pertanian bertumpu pada kota, masyarakat desa banyak yang
bermigrasi ke kota, terjadi mobilitas sosial yang cukup tinggi, dantersedianya
sarana komunikasi dan transportasi yang memadai.
Dalam bidang
kebudayaan, masyarakat Kota Bogor pun terbagi ke dalam dua jenis, yaitu
masyarakat asli yang masih memeprtahankan Kebudayaan Sunda dan masyarakat
kota yang mulai mengembangkan budaya perkotaan namun masih mendapat pengaruh
Budaya Sunda akibat intensnya interaksi antar masyarakat seperti yang telah
disebutkan di atas. Dalam kehidupan masyarakat asli, Budaya Sunda yang
paling dikenal oleh masyarakat Bogorlainnya adalah pelaksanaan Upacara Seren
Taun Guru Bumi di Kaki Gunung Salak, upacara ini merupakan simbolisasi
dari keberhasilan panen. Upacara ini sangat kental dengan Budaya Sunda karena
selain diramaikan oleh pertujukan Angkung Gubrag, juga dalam ritualnya banyak
menggunakan instrumen tradisional seperti adat orang Sunda, seperti Jempana dan Dongdang yang
merupakan makanan tradisional dan hasil usaha tani.
Di samping itu, yang
menarik pula apabila kita amati budaya yang berkembang dalam masyaraka
perkotaan. Bila kita amati secara lebih seksama, terdapat percampuran antara
budaya Betawi dan Budaya Sunda. Misalnya, dalam percakapan sehari-hari sering
kita temukan pernyataan “Gua Geleuh sama Lu”. Kata “Gua” merupakan bagian dari
bahasa Betawi, sedangkan kata “Geleuh” merupakan Bahasa Sunda. Oleh karena itu
pula, mungkin, terjadi perubahan sifat Bahasa Sunda yang bila dibandingkan
dengan Bahasa Sunda yang digunakan di wilayah Bandung, Bahasa Sunda Bogor
terkesan lebih kasar. Di samping itu, gejala yang kemudian muncul, terutama di
kalangan masyarakat pendatang adalah muncul dan berkembangya sikap kepedulian
terhadap Budaya Sunda. Sehingga pemahaman akan Budaya Sunda semakin terkikis,
bahkan orang Sunda yang laihr di Kota Bogor pun belum tentu dapat berbahas
Sunda, dan digantikan oleh budaya perkotaan yang tidak mengindahkan nilai-nilai
tradisional.
Potret Kehidupan
Masyarakat Perumahan Indraprasta II
Perumahan Indraprasta
II merupakan perluasan dari proyek Perumahan Nasional (Perumnas). Dalam sejarah
perumahan di Indonesia dikenal kebijakanperumahan yang merupakan bagian dari
Repelita I (1969-1974). Sebagai implikasinya kemudian dikeluarkan Keputusan
Presidien RI No.29/1974 tentang pembentukan Perusahaan Umum Perumahan Nasional
(Perum Perumnas). Perumnas di Kota Bogor pada awalnya
merupakan sebuah perumahan yang menempati areal yang sangat luas. Namun
seiring perkembangan zaman, kemudian areal ini dibagi-bagi ke dalam beberapa
unit komplek perumahan. Salah satunya yang terbesar adalah Perumahan
Indraprasta I yang mulai dibangun pada awal tahun 1990.
Semakin membaiknya
sarana transportasi di wilayah tersebut, membuat pengembang kemudian membuat
kembali Perumahan Indraprasta II pada akhir tahun 1990-an dengan keunggulan
akses jalan yang langsung ke jalan tol. Kemudahan ini kemudian membuat
perumahan ini laku, terutama dari kalangan para pekerja yang berkator di
Jakarta, namun lebih memilih bermukim di Kota Bogor. Dalam perkembangannya,
karena letaknya yang strategis di sekitar komplek Indraprasta II ini kemudian
bertebaran pula tempat-tempat usaha, sepertiFactory Outlet (FO),
bengkel, dan yang paling banyak adalah usaha rumah makan.
Dalam kehidupan
masyarakatnya pun dapat dikatakan unik. Hal ini disebabkan oleh letak wilayah
Perumahan Indraprsta itu sendiri. Walaupun dalam kompleks perumahan itu
didominasi oleh masyarakat perkotaan, namun di sekitar tempat tersebut terdapat
pula masyarakat-masyarakat asli terutama yang berasal dari wilayah Cimahpar.
Relasi diantara para penduduk di kompleks ini dapat sangat mencerminkan
kehidupan masyarakat perkotaan yang lebih cenderung individualis, mengembangkan
hubungan yang bersifat formal, dan bersifat profesional. Namun bukan berarti
relasi diantara penghuni kompleks tersebut tidak berjalan .
Hal ini
terutama ditujukkan dengan diadakannya acara arisan rutin kompleks setiap
satu bulan sekali yang pelaksanaannya dilakukan secara bergiliran. Selain itu,
setiap hari minggu pun diadakan kegiata olahraga bersama dari semua kalangan
umur yang secara tidak langsung berfungsi untuk menjalin dan membangun relasi
yang baik antara sesama warga komplek. Sedangkan intensitas hubungan antara
warga komplek dengan penduduk asli sekitar juga cukup baik. Hal ini, paling
tidak ditujukkan dengan dikaryakannya beberapa penduduk asli, baik sebagai
asisten rumah tangga, maupun sebagai tenaga keamanan di wilayah komplek.
Sumber:
(http://www.kotabogor.go.id/demografi.htm).