KONVENSI
INTERNASIONAL
A.
Pengertian Konvensi
Konvensi adalah suatu perjanjian yang bersifat
multilateral. Ketentuan-ketentuannya berlaku bagi masyarakat internasional
secara keseluruhan. Misalnya, Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 di
Montego-Jamaika. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
konvensi diartikan sebagai :
1.
Permufakatan atau kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi)
2.
Perjanjian antarnegara, para penguasa pemerintahan.
Konvensi bisa merupakan
kumpulan norma yang diterima secara umum. Konvensi juga adalah pertemuan
sekelompok orang yang secara bersama-sama bertukar pikiran, pengalaman dan
informasi melalui pembicaraan terbuka, saling siap untuk mendengar dan didengar
serta mempelajari, mendiskusikan kemudian menyimpulkan topik-topik yang dibahas
dalam pertemuan dimaksud. Konvensi merupakan suatu kegiatan berupa pertemuan
sekelompok orang (negarawan,usahawan, cendekiawan, dan sebagainya) untuk
membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Secara
umum konvensi merupakan suatu bentuk kebiasaan dan terpelihara dalam praktek
serta tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam
konteks hukum internasional sebuah konvensi dapat berupa perjanjian
internasional tertulis yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan internasional,
yurisprudensi atau prinsip hukum umum. Sebuah konvensi internasional dapat
diberlakukan di Indonesia, setelah terlebih dahulu melalui proses ratifikasi
yang dilakukan oleh DPR.
B.1
Konvensi Bern tentang Perlindungan
Karya seni dan Sastra
Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan
Sastra, biasa
disebut Konvensi Bern atau Konvensi Berne, merupakan persetujuan internasional mengenai hak cipta, pertama kali disetujui di Bern, Swiss pada tahun 1886.
Sebelum
penerapan Konvensi Bern, undang-undang hak cipta biasanya berlaku hanya bagi
karya yang diciptakan di dalam negara bersangkutan. Akibatnya, misalnya ciptaan
yang diterbitkan diLondon oleh
seorang warga negara Inggris dilindungi
hak ciptanya di Britania Raya, namun dapat disalin dan dijual
oleh siapapun di Swiss; demikian pula sebaliknya.
Konvensi Bern mengikuti
langkah Konvensi Paris pada
tahun 1883, yang dengan cara serupa telah menetapkan kerangka perlindungan
internasional atas jenis kekayaan intelektual lainnya, yaitupaten, merek,
dan desain industri.
Sebagaimana
Konvensi Paris, Konvensi Bern membentuk suatu badan untuk mengurusi tugas
administratif. Pada tahun 1893, kedua badan tersebut bergabung menjadi Biro
Internasional Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan Intelektual (dikenal dengan
singkatan bahasa Prancisnya, BIRPI), di Bern. Pada tahun 1960, BIRPI dipindah
dari Bern ke Jenewa agar
lebih dekat ke PBB dan organisasi-organisasi
internasional lain di kota tersebut, dan pada tahun 1967 BIRPI menjadi WIPO, Organisasi Kekayaan Intelektual Internasional,
yang sejak 1974 merupakan organisasi di bawah PBB.
Konvensi
Bern direvisi di Paris pada tahun 1896 dan di Berlin pada tahun 1908,
diselesaikan di Bern pada tahun 1914, direvisi di Roma pada tahun 1928, di
Brussels pada tahun 1948, di Stockholm pada tahun 1967 dan di Paris pada tahun
1971, dan diubah pada tahun 1979.
Pada Januari 2006, terdapat
160 negara anggota Konvensi Bern. Sebuah daftar lengkap yang berisi para
peserta konvensi ini tersedia, disusun menurut nama negara atau disusun menurut tanggal pemberlakuannya di negara
masing-masing.
B.2 Isi Perjanjian
Konvensi
Bern mewajibkan negara-negara yang menandatanganinya melindungi hak cipta dari
karya-karya para pencipta dari negara-negara lain yang ikut menandatanganinya
(yaitu negara-negara yang dikenal sebagai Uni Bern), seolah-olah mereka adalah
warga negaranya sendiri. Artinya, misalnya, undang-undang hak cipta Prancis
berlaku untuk segala sesuatu yang diterbitkan atau dipertunjukkan di Prancis,
tak peduli di mana benda atau barang itu pertama kali diciptakan.
Namun
demikian, sekadar memiliki persetujuan tentang perlakuan yang sama tidak akan
banyak gunanya apabila undang-undang hak cipta di negara-negara anggotanya
sangat berbeda satu dengan yang lainnya, kaerna hal itu dapat membuat seluruh
perjanjian itu sia-sia. Apa gunanya persetujuan ini apabila buku dari seorang
pengarang di sebuah negara yang memiliki perlindungan yang baik diterbitkan di
sebuah negara yang perlindungannya buruk atau malah sama sekali tidak ada?
Karena itu, Konvensi Bern bukanlah sekadar persetujuan tentang bagaimana hak
cipta harus diatur di antara negara-negara anggotanya melainkan, yang lebih
penting lagi, Konvensi ini menetapkan serangkaian tolok ukur minimum yang harus
dipenuhi oleh undang-undang hak cipta dari masing-masing negara.
Hak
cipta di bawah Konvensi Bern bersifat otomatis, tidak membutuhkan pendaftaran
secara eksplisit. Konvensi Bern menyatakan bahwa
semua karya, kecuali berupa fotografi dan sinematografi, akan dilindungi
sekurang-kurangnya selama 50 tahun setelah si pembuatnya meninggal dunia, namun
masing-masing negara anggotanya bebas untuk memberikan perlindungan untuk
jangka waktu yang lebih lama, seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan Petunjuk untuk mengharmonisasikan syarat-syarat
perlindungan hak cipta tahun
1993. Untuk fotografi, Konvensi Bern menetapkan batas mininum perlindungan
selama 25 tahun sejak tahun foto itu dibuat, dan untuk sinematografi batas
minimumnya adalah 50 tahun setelah pertunjukan pertamanya, atau 50 tahun
setelah pembuatannya apabila film itu tidak pernah dipertunjukan dalam waktu 50
tahun sejak pembuatannya.
Negara-negara
yang terkena revisi perjanjian yang lebih tua dapat memilih untuk memilih untuk
memberikan, dan untuk jenis-jenis karya tertentu (seperti misalnya piringan
rekama suara dan gambar hidup) dapat diberikan batas waktu yang lebih singkat.
Meskipun Konvensi Bern
menyatakan bahwa undang-undang hak cipta dari negara yang melindungi suatu
karya tertentu akan diberlakukan, ayat 7.8 menyatakan bahwa "kecuali
undang-undang dari negara itu menyatakan hal yang berbeda, maka masa
perlindungan itu tidak akan melampaui masa yang ditetapkan di negara asal dari
karya itu", artinya si pengarang biasanya tidak berhak mendapatkan
perlindungan yang lebih lama di luar negeri daripada di negeri asalnya,
meskipun misalnya undang-undang di luar negeri memberikan perlindungan yang
lebih lama.
C KONVENSI
HAK CIPTA UNIVERSAL 1955
Merupakan suatu hasil kerja PBB melalui sponsor UNESCO untuk
mengakomodasikan dua aliran falsafah berkaitan dengan hak cipta yang berlaku di
kalangan masyarakat inrernasional. Di satu pihak ada sebagian angota masyarakat
internasional yang menganut civil law system, berkelompok keanggotaannya pada
Konvensi Bern, dan di pihak lain ada sebagian anggota masyarakat internasional
yang menganut common law system berkelompok pada Konvensi-Konvebsi Hak Cipta
Regional yang terutama berlaku di negara-negara Amerika Latin dan Amerika
serikat.
Untuk menjembatani dua kelompok yang berbeda sistem pengaturan tentang
hak cipta ini, PBB melalai UNESCO menciptakan suatu kompromi yang merupakan: “A new common dinamisator convention that was
intended to establist a minimum level of international copyright relations
throughout the world, without weakening or supplanting the Bern Convention”.
Pada 6 September 1952 untuk memenuhi kepatuhan adanya suatu Common
Dinaminator Convention lahirlah Universal
Copyright Convention (UCC)
yang ditandalangani di Jenewa kemudian ditindaklanjuti dengan 12 ratifikasi
yang diperlukan untuk berlakunya pada 16 September 1955. Ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan menurut Pasal 1 konvensi antara lain:
1. Adequate and Effective Protection. Menurut Pasal I konvensi setiap negara
peserta perjanjian berkewajiban memberikan perlindungan hukum yang memadai dan
efektif terhadap hak-hak pencipta dan pemegang hak cipta.
2. National Treatment. Pasal II menetapkan bahwa ciptaan-ciptaan yang
diterbitkan oleh warga negara dari salah satu negara peserta perjanjian dan
ciptaan-ciptaan yang diterbitkan pertama kali di salah satu negara peserta
perjanjian, akan meemperoleh perlakuan perlindungan hukum hak cipta yang sama
seperti diberikan kepada warga negaranya sendiri yang menerbitkan untuk pertama
kali di negara tempat dia menjadi warga negara.
3. Formalities. Pasal III yang merupakan manifestasi kompromistis dari UUC terhadap
dua aliran falsafah yang ada, menetapkan bahwa suatu negara peserta perjanjian
yang menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya syarat-syarat tertentu
sebagai formalitas bagi timbulnya hak cipta, seperti wajib simpan (deposit),
pendaftaran (registration),
akta notaries (notarial certificates)
atau bukti pembayaran royalti dari penerbit (payment of fee), akan dianggap rnerupakan bukti timbulnya hak
cipta, dengan syarat pada ciptaan bersangkutan dibubuhkan tanda c dan di
belakangnya tercantum nama pemegang hak cipta kemudian disertai tahun
penerbitan pertama kali.
4. Duration of Protection. Pasal IV, suatu jangka waktu minimum sebagi
ketentuan untuk perlindungan hukum selama hidup pencipta ditambah paling
sedikit 25 tahun setelah kematian pencipta.
5. Translations Rights. Pasal V, hak cipta mencakup juga hak eksklusif pencipta
untuk membuat, penerbitkan, dan memberi izin untuk menerbitkan suatu terjemahan
dari ciptaannya. Namun setelah tujuh tahun terlewatkan, tanpa adana
penerjemahan yang, dilakukan oleh pencipta, negara peserta konvensi dapat
memberikan hak penerjemahan kepada warga negaranya dengan memenuhi syarat-syarat
seperti ditetapkan konvensi.
6.
Juridiction of the international Court of Justice. Pasal XV, suatu sengketa yang timbul antara
dua atau lebih negara anggota konvensi mengenai penafsiran atau pelaksanaan
konvensi, yang tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat. dapat
diajukan ke muka Mahkamah lnternasional untuk dimintakan penyelesaian sengketa
yang diajukan kecuali jika pihak-pihak yang bersengketa bersepakat untuk
memakai cara lain.
7.
Bern safeguard Clause. Pasal XVII UCC beserta appendix merupakan kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan dari pasal ini, merupakan salah satu sarana penting
untuk pemenuhau kebutuhan ini.
Selain
kedua konvensi di atas yang mengatur mengenai hak cipta, beberapa konvensi
lainnya yang juga mengatur tentang hak cipta adalah Konvensi Jenewa 1971.
D.1 Konvensi Jenewa
Konvensi-konvensi
Jenewa meliputi empat perjanjian (treaties) dan tiga protokol tambahan
yang menetapkan standar dalam hukum internasional (international law)
mengenai perlakuan kemanusiaan bagi korban perang. Istilah Konvensi Jenewa,
dalam bentuk tunggal, mengacu pada persetujuan-persetujuan 1949, yang merupakan
hasil perundingan yang dilakukan seusai Perang Dunia II.
Persetujuan-persetujuan tersebut berupa diperbaharuinya ketentuan-ketentuan
pada tiga perjanjian yang sudah ada dan diadopsinya perjanjian keempat. Rumusan
keempat perjanjian 1949 tersebut ekstensif, yaitu berisi pasal-pasal yang
menetapkan hak-hak dasar bagi orang yang tertangkap dalam konflik militer,
pasal-pasal yang menetapkan perlindungan bagi korban luka, dan pasal-pasal yang
menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di
sekitar kawasan perang. Keempat perjanjian 1949 tersebut telah diratifikasi,
secara utuh ataupun dengan reservasi, oleh 194 negara.
Konvensi-konvensi
Jenewa tidak berkenaan dengan penggunaan senjata perang, karena permasalahan
tersebut dicakup oleh Konvensi-konvensi
Den Haag 1899 dan 1907 dan Protokol
Jenewa. "Orang yang dilindungi berhak, dalam segala keadaan,
untuk memperoleh penghormatan atas dirinya, martabatnya, hak-hak keluarganya,
keyakinan dan ibadah keagamaannya, dan kebiasaan serta adat-istiadatnya. Mereka
setiap saat diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi, terutama terhadap segala
bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan dan
keingintahuan publik.
Perempuan
dilindungi secara istimewa terhadap setiap penyerangan atas martabatnya,
terutama terhadap pemerkosaan, pelacuran paksa, atau setiap bentuk penyerangan
tidak senonoh (indecent assault). Tanpa merugikan ketentuan-ketentuan mengenai
keadaan kesehatan, usia, dan jenis kelamin, semua orang yang dilindungi
diperlakukan dengan penghormatan yang sama oleh Peserta konflik yang menguasai
mereka, tanpa pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan pada, terutama, ras,
agama, atau opini politik. Namun, Peserta konflik boleh mengambil
langkah-langkah kontrol dan keamanan menyangkut orang-orang yang dilindungi
sebagaimana yang mungkin diperlukan sebagai akibat dari perang yang
bersangkutan." (Pasal 27, Konvensi Jenewa Keempat)
D.2 Sejarah
Pada tahun 1862, Henry Dunant menerbitkan
bukunya, Memoir of Solferino (Kenangan Solferino), mengenai
kengerian perang. Pengalaman Dunant menyaksikan perang mengilhaminya untuk
mengusulkan:
1.
dibentuknya perhimpunan
bantuan yang permanen untuk memberikan bantuan kemanusiaan pada masa perang,
dan
2.
dibentuknya perjanjian
antarpemerintah yang mengakui kenetralan perhimpunan tersebut dan
memperbolehkannya memberikan bantuan di kawasan perang.
Usulan yang
pertama berujung pada dibentuknya Palang Merah (Red Cross) sedangkan usulan
yang kedua berujung pada dibentuknya Konvensi Jenewa Pertama. Atas kedua
pencapaian ini, Henry Dunant pada tahun 1901 menjadi salah seorang penerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang untuk pertama kalinya
dianugerahkan.
Kesepuluh pasal
Konvensi Jenewa Pertama diadopsi untuk pertama kalinya pada tanggal 22 Agustus
1864 oleh dua belas negara. Clara
Barton memainkan peran
penting dalam mengkampanyekan peratifikasian Konvensi Jenewa Pertama oleh
Amerika Serikat, yang akhirnya meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1882.
Perjanjian yang
kedua diadopsi untuk pertama kalinya dalam Konvensi Jenewa untuk Perbaikan
Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Laut, yang
ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1906 dan secara spesifik berkenaan dengan
anggota Angkatan Bersenjata di laut. Perjanjian ini dilanjutkan dalam Konvensi
Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang, yang ditandatangani pada tanggal 27
Juli 1929 dan mulai berlaku pada tanggal 19 Juni 1931. Terinspirasi oleh
gelombang antusiasme akan kemanusiaan dan perdamaian yang muncul seusai Perang
Dunia II dan oleh kegusaran publik atas berbagai kejahatan perang yang terungkap dalam Pengadilan Nuremberg,
maka pada tahun 1949 diadakan serangkaian konferensi dengan hasil berupa
diteguhkan, diperluas, dan diperbaharuinya ketiga Konvensi Jenewa yang sudah
ada dan diadopsinya Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa
Perang, sebuah perjanjian yang baru dan rinci.
Meskipun sudah
cukup rinci, di kemudian hari perjanjian-perjanjian tersebut didapati masih
belum lengkap. Justru, hakikat konflik bersenjata (armed conflicts) itu sendiri
mengalami perubahan sejak dimulainya era Perang Dingin sehingga
banyak pihak akhirnya berpendapat bahwa Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menyikapi
realitas yang sebagian besar sudah punah. Di satu pihak, sebagian besar konflik
bersenjata yang terjadi dalam era Perang Dingin adalah konflik bersenjata
internal atau perang saudara. Di lain pihak, semakin banyak dari perang yang
terjadi adalah perang asimetris. Lebih-lebih, konflik bersenjata moderen
memakan korban yang semakin lama semakin banyak di kalangan orang sipil.
Perubahan-perubahan
tersebut menimbulkan kebutuhan untuk menyediakan perlindungan yang nyata bagi
orang dan objek sipil pada masa konflik bersenjata, dan ini berarti perlunya
dilakukan pembaharuan terhadap Konvensi Den Haag 1899 dan 1907. Dengan
mengingat perkembangan-perkembangan tersebut, maka pada tahun 1977 diadopsi dua
Protokol yang memperluas Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dengan sejumlah
ketentuan yang memberikan perlindungan tambahan. Pada tahun 2005, sebuah
Protokol ketiga diadopsi pula. Protokol yang ringkas ini menetapkan sebuah
tanda perlindungan (protective sign) tambahan bagi dinas kesehatan
angkatan bersenjata, yaitu Kristal Merah, sebagai alternatif untuk lambang
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang dipakai di mana-mana itu, yaitu bagi
negara-negara yang merasa kedua lambang ini kurang tepat.
D.3
Konvensi dan Persetujuanya
Konvensi-konvensi
Jenewa terdiri dari berbagai aturan yang berlaku pada masa konflik bersenjata,
dengan tujuan melindungi orang yang tidak, atau sudah tidak lagi, ikut serta
dalam permusuhan, antara lain:
1.
kombatan yang terluka atau
sakit
2.
tawanan perang
3.
orang sipil
4.
personel dinas medis dan
dinas keagamaan
D.4 Konvensi
Dalam ranah
diplomasi, istilah konvensi mempunyai arti yang lain dari artinya yang biasa,
yaitu pertemuan sejumlah orang. Dalam diplomasi, konvensi mempunyai arti
perjanjian internasional atau traktat. Ketiga Konvensi Jenewa yang terdahulu
direvisi dan diperluas pada tahun 1949, dan pada tahun itu juga ditambahkan
Konvensi Jenewa yang keempat.
1.
Konvensi Jenewa Pertama
(First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan
Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864
2.
Konvensi Jenewa Kedua
(Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan
Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906
3.
Konvensi Jenewa Ketiga
(Third Geneva Convention), mengenai PerlakuanTawanan Perang, 1929
4.
Konvensi Jenewa Keempat
(Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang,
1949
Satu rangkaian
konvensi yang terdiri dari empat konvensi ini secara keseluruhan disebut
sebagai “Konvensi-konvensi Jenewa 1949” atau,
secara lebih sederhana, “Konvensi Jenewa”.
D.5 Protokol
Konvensi-konvensi
Jenewa 1949 telah dimodifikasi dengan tiga protokol amandemen, yaitu:
1.
Protokol I (1977), mengenai
Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional
2.
Protokol II (1977), mengenai
Perlindungan Konflik Bersenjata Non-internasional
3.
Protokol III (2005),
mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan
D.6 Aplikasi
Konvensi-konvensi
Jenewa berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah
yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut. Ketentuan rinci
mengenai aplikabilitas Konvensi-konvensi Jenewa diuraikan dalam Pasal 2 dan 3
Ketentuan yang Sama. Masalah aplikabilitas ini telah menimbulkan sejumlah
kontroversi. Ketika Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus
merelakan sebagian tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national sovereignty)
untuk dapat mematuhi hukum internasional. Konvensi-konvensi Jenewa bisa saja
tidak sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai budaya sebuah
negara tertentu. Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa menyediakan keuntungan bagi
individu, tekanan politik bisa membuat pemerintah menjadi enggan untuk menerima
tanggung jawab yang ditimbulkan oleh konvensi-konvensi tersebut.
D.7 Kuasa
Perlindungan
Istilah kuasa
perlindungan (protecting power) mempunyai arti spesifik berdasarkan
Konvensi-konvensi ini. Kuasa perlindungan ialah sebuah negara yang tidak ikut
serta dalam sebuah konflik bersenjata tetapi setuju untuk mengurus kepentingan
sebuah negara lain yang menjadi peserta konflik tersebut. Kuasa perlindungan
berfungsi sebagai mediator yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara
pihak-pihak peserta konflik. Kuasa perlindungan juga berfungsi memantau
implementasi Konvensi-konvensi ini, misalnya dengan cara mengunjungi kawasan
konflik dan tawanan perang. Kuasa perlindungan harus bertindak sebagai
pendamping (advocate) bagi tawanan, korban luka, dan orang sipil.
D.8 Pelanggaran
berat
Tidak semua
pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang
paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches)
dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime).
Pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Kedua dan Ketiga antara lain adalah
tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi
oleh konvensi tersebut:
1.
pembunuhan sengaja,
penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi
2.
dengan sengaja menyebabkan penderitaan
besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan
3.
memaksa orang untuk berdinas
di angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan
4.
dengan sengaja mencabut hak
atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang
Tindakan berikut ini juga dianggap
sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Keempat:
1.
penyanderaan
2.
penghancuran dan
pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan
berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum
dan secara tanpa alasan.
3.
deportasi, pemindahan, atau
pengurungan yang melawan hukum
Negara yang
menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan
peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut.
Negara-negara juga berkewajiban mencari orang yang diduga telah melakukan
kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan
tersebut, serta mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang tersebut dan
di mana pun kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini juga
berlaku bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat. Untuk tujuan itulah maka
Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal
for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International
Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk
melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi.
E.
UCC (Universal Copyright Convention)
Konvensi Hak Cipta
Universal (atau Universal Copyright Convention), disepakati di Jenewa pada
1952. UCC merupakan salah satu dari dua konvensi internasional utama melindungi
hak cipta. Konvensi lain yang dimaksud adalah Konvensi Bern. UCC dikembangkan
oleh United Nations Educational (Ilmu Pengetahuan dan Budaya) sebagai
alternatif dari Konvensi Bern. Konvensi ini disepakati agar negara-negara yang
tidak setuju dengan aspek-aspek dari Konvensi Bern, tapi masih ingin
berpartisipasi dalam beberapa bentuk perlindungan hak cipta multilateral.
Konvensi Hak cipta
Universal merupakan Hasil kerja PBB melalui sponsor UNESCO. Tujuan adanya
konvensi ini yaitu untuk menjembatani dua kelompok masyarakat internasional: civil
law system (anggota konvensi Bern) dan common law system (anggota
konvensi hak cipta regional di negara-negara Amerika Latin dan Amerika
Serikat).
Konvensi ini
kemudian berkembang dan ditindaklanjuti dengan 12 ratifikasi pada tanggal 16
September 1955. Konvensi ini melindungi karya dari orang-orang yang tanpa
kewarganegaraan dan orang-orang pelarian. Hal ini berarti bahwa secara
internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak mempunyai
kewarganegaraan atau orang-orang pelarian, perlu dilindungi. Dengan demikian
salah satu dari tujuan perlindungan hak cipta tercapai.
Dalam hal ini
kepentingan negara-negara berkembang di perhatikan dengan memberikan
batasan-batasan tertentu terhadap hak pencipta asli untuk menterjemahkan dan
diupayakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan ilmu pengetahuan.
Perbandingan antara
kedua konvesi internacional tersebut, yaitu kalau konvensi bern menganut dasar
falsafah Eropa yang mengaggap hak cipta sebagai hak alamiah dari pada si
pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang memberikan hak
monopoli. Sedangkan Universal Copyright Convention mencoba untuk
mempertemukan antara falsafah Eropa dan Amerika, yang memandang hak monopoli
yang diberikan kepada si pencipta diupayakan pula untuk memperhatikan
kepentingan umum. Universal Copyright Conventionmengganggap
hak cipta ditimbulkan oleh karena adanya ketentuan yang memberikan hak seperti
itu kepada pencipta. Oleh karena itu, ruang lingkup dan pengertian hak mengenai
hak cipta itu dapat ditentukan oleh peraturan yang melahirkan hak tersebut.
Sumber:
www.wikipedia
.com
http://hukum2industri.wordpress.com/2011/06/07/konvensi-internasional-tentang-hak- cipta/