Minggu, 14 Desember 2014

Tulisan Kewirausahaan 5

MEMPELAJARI SISTEM PRODUKSI MENGGUNAKAN METODE
JUST IN TIME


BAB I
PENDAHULUAN


1.1             Latar Belakang
Sistem pemanufakturan tradisional mengatur skedul produksinya berdasarkan pada peramalan kebutuhan di masa yang akan datang.Padahal tidak seorangpun yang dapat memprediksi masa yang akan dating dengan pasti walaupun dia memiliki pemahaman yang sempurna tentang masa lalu dan memiliki insting yang tajam terhadap kecendrungan yang terjadi di pasar
Produksi berdasarkan prediksi terhadap masa yang akan datang dalam sistem tradisonal memiliki resiko kerugian yang lebih besar karena over produksi daripada produksi berdasarkan permintaan yang sesungguhnya. Oleh karena itu munculah ide Just In Time yang memproduksi apabila ada permintaan. Suatu proses produksi hanya akan memproduksi apabila diisyaratkan oleh proses berikutnya. Sebagai akibatnya pemborosoan dapat dihilangkan dalam skala besar, yaitu berupa perbaikan kualitas dan biaya produksi yang lebih rendah. Kedua hal tersebut menjadikan perusahaan lebih kooperatif. Tujuan utama Just In Time adalah untuk meningkatkan laba dan posisi persaingan perusahaan yang dicapai melalui usaha pengendalian biaya, peningkatan kualitas, serta perbaikan kinerja pengiriman.
Just In Time merupakan filosofi pemanufakturan yang memiliki implikasi penting dalam manajemen biaya. Ide dasar Just In Time sangat sederhana, yaitu berproduksi hanya apabila ada permintaan (full system) atau dengan kata lain hanya memproduksi sesuatu yang diminta, pada saat diminta, dan hanya sebesar kuantitas yang diminta.
Prinsip dasar Just In Time adalah peningkatan kemampuan perusahaan secara terus menerus untuk merespon perubahan dengan minimisasi pemborosan. Terdapat empat aspek pokok dalam konsep Just In Time yaitu, menghilangkan semua aktifitas atau sumber-sumber yang tidak memberikan nilai tambah terhadap produk atau jasa, komitmen terhadap kualitas prima, mendorong perbaikan berkesinambungan untuk meningkatkan efisiensi, dan memberikan tekanan pada penyederhanaan aktivitas dan peningkatan visibilitas aktivitas yang memberikan nilai tambah.
Perusahaan-perusahaan meningkatkan perhatian terhadap keuntungan potensial dari membuat pesanan pembelian yang lebih kecil atau lebih sering.  Selain itu membangun kembali hubungan dengan pemasok. Kedua hal tersebut berhubungan dengan peningkatan minat dalam sistem pembelian tepat waktu (Just In Time). Pembelian Just In Time adalah pembelian barang atau bahan sedemikian rupa sehingga pengiriman secara tepat mendahului permintaan atau penggunaan. Dalam keadaan ekstrim tidak adanya persediaan (barang untuk dijual bagi seorang pengecer, bahan baku barang dalam proses atau barang jadi bagi seorang produsen) yang ditahan.
Perusahaan yang menggunakan pembelian Just In Time biasanya menekankan biaya tersembunyi yang berhubungan dengan menahan tingkat persediaan yang tinggi. Biaya tersembunyi ini meliputi jumlah ruang penyimpanan yang lebih besar dan jumlah kerusakan–kerusakan yang cukup besar.

1.2             Pokok-pokok Permasalahan
Pokok-pokok permasalahan dalam perkembangan Just In Time di perusahaan industri yang sering terjadi dalam hal ini adalah :
1.        Pengertian Just In Time.
2.        Bagaimana persediaan dalam sistem Just In Time.
3.        Bagaimana pembelian dalam sistem Just In Time.
4.        Bagaimana produksi dalam sistem Just In Time.
5.        JIT dan Otomasi
6.        Penentuan Harga Pokok Backflush
7.        Penentuan Harga Pokok Proses dan JIT
8.        Pengaruh JIT pada Harga Pokok Pesanan
9.        Pengaruh JIT pada Penilaian  Persediaan
10.    Pengaruh JIT pada Biaya Tenaga Kerja Langsung
11.    JIT dan Alokasi Biaya Pusat Jasa
12.    Keakuratan Penentuan Biaya Produk dan JIT
13.    JIT dan Ketertelusuran Biaya Overhead
14.    JIT Dibandingkan dengan Pemanufakturan Tradisional

BAB II
ISI


2.1       Perencanaan Kapasitas dalam Sistem Manufaktur
Pada dasarnya perencanaan manufaktur (manufacturing planning) mencakup perencanaan terhadap output dan input dari operasi manufaktur yang dikelompokkan dalam dua jenis perencanaan, yaitu: perencanaan prioritas (priority planning) yang berkaitan dengan perencanaan output dan perencanaan kapasitas (capacity planning) yang berkaitan dengan perencanaan input. Perencanaan prioritas menentukan produk-produk atau prioritas-prioritas dari operasi manufaktur untuk memenuhi permintaan pasar, seperti: jenis produk yang dibutuhkan, jumlah yang dibutuhkan, waktu produk dibutuhkan, termasuk spesifikasi kualitas, dan lain-lain. Sedangkan perencanaan kapasitas menentukan sumber-sumber daya (input) atau tingkat kapasitas yang dibutuhkan oleh operasi manufaktur untuk memenuhi jadwal produksi atau output yang diinginkan, membandingkan kebutuhan produksi dengan kapasitas yang tersedia, dan menyesuaikan tingkat kapasitas atau jadwal produksi.
Perencanaan kapasitas mencakup kebutuhan sumber-sumber daya manufaktur seperti: jam mesin, jam tenaga kerja, fasilitas peralatan, ruang untuk tempat penyimpanan (warehouse space), rekayasa (engineeering), energi, dan sumber-sumber daya keuangan. Dalam sistem MRP II, perencanaan kapasitas tidak mencakup material, karena perencanaan material ditangani oleh fungsi perencanaan prioritas melalui penjadwalan produksi induk (master production scheduling, MPS) dan perencanaan kebutuhan material (material requirements planning, MRP).
Keberhasilan perencanaan dan pengendalian manufaktur membutuhkan perencanaan kapasitas yang efektif, agar mampu memenuhi jadwal produksi yang ditetapkan. Kekurangan kapasitas akan menyebabkan kegagalan dalam memenuhi target produksi, keterlambatan pengiriman ke pelanggan, dan kehilangan kepercayaan dalam sistem formal yang mengakibatkan reputasi dari perusahaan akan menurun atau hilang sama sekali. Pada sisi lain, kelebihan kapasitas akan mengakibatkan tingkat utilisasi sumber-sumber daya yang rendah, biaya meningkat, harga produk menjadi tidak kompetitif, kehilangan pangsa pasar, penurunan keuntungan, dan lain-lain. Dengan demikian, kekurangan kapasitas maupun kelebihan kapasitas akan memberikan dampak negatif bagi sistem manufaktur, sehingga perencanaan kapasitas yang efektif adalah menyediakan kapasitas sesuai dengan kebutuhan pada waktu yang tepat. Dalam kasus ini, makna dari filosofi Just In Time (JIT) menjadi bermanfaat, sehingga sistem manufaktur modern telah mengintegrasikan praktek-praktek JIT ke dalam MRP II.

2.2       Perencanaan Produksi
Rencana produksi adalah suatu panduan umum yang mendefinisikan level keseluruhan dari operasi produksi untuk menghasilkan produk pada periode waktu tertentu, misalnya satu bulan, tiga bulan, atau satu tahun. Rencana produksi biasanya mendefinisikan jumlah unit atau tingkat produksi untuk berbagai macam produk yang akan diproduksi untuk memenuhi permintaan konsumen. Rencana produksi yang dibagi ke dalam unit waktu dinamakan jadwal produksi, yaitu suatu rencana yang rinci yang mendefinisikan jumlah pasti dari unit yang akan diproduksi per jam, per hari, atau per minggu.
Pada operasi lot yang besar(large-lot), perencanaan produksi biasanya dimulai dengan suatu pemeriksaan lanjutan dari peramalan permintaan konsumen selama satu sampai tiga tahun. Berdasarkan peramalan ini, manajemen dapat merencanakan tenaga kerja agregat, persediaan (inventori) agregat, tingkat produksi agregat, dan kebutuhan kapasitas agregat. Berkaitan dengan perencanaan agregat, tenaga kerja agregat, persediaan (inventori), produksi, dan kebutuhan kapasitas agregat ini kemudian diseimbangkan untuk mencapai tingkat produksi yang diharapkan untuk memenuhi permintaan konsumen. Aktivitas produksi yang dibagi menjadi periode waktu yang lebih kecil untuk menentukan rencana produksi unit yang lebih spesifik  disebut master production schedule (MPS).
Pada operasi JIT, permintaan konsumen menentukan MPS. Operasi JIT secara sederhana memiliki kemampuan untuk mengubah tingkat produksi per minggu atau per hari untuk menyesuaikan pergeseran permintaan dari operasi konsumen. Kontrak pemasok jangka panjang yang memiliki batasan kuantitas yang dipesan harus diset untuk memperbolehkan adanya fleksibilitas inventori pembelian. Perencana produksi harus merancang dan melengkapi operasi mereka agar mampu mengubah tingkat produksi dalam batasan awal tersebut sehingga pemborosan tenaga kerja, material, dan peralatan dapat diminimalisir. Operasi JIT tidak hanya harus mampu mengubah tingkat produksi, tetapi juga harus mampu mengubah aktivitas produksi dari satu model produk kepada model lain yang lebih cepat dan dengan biaya setup yang minimum.
Untuk membantu manajer menyelesaikan perencanaan dan penjadwalan produksi, beberapa prinsip dan metodologi telah dikembangkan. Tujuan pada bab ini adalah untuk menyediakan  pemahaman dasar dari prinsip perencanaan dan penjadwalan produksi JIT. Selainitu, pada bab ini juga menggambarkan dua metode penjadwalan khusus yang digunakan untuk mendukung operasi JIT, yaitu mixed model scheduling method dan sistem kanban. Untuk membantu pengguna mengidentifikasi keberhasilan perencanaan dan penjadwalan produksi JIT, sejumlah formula pengukuran JIT juga ditampilkan.

2.3    Prinsip Manajemen Produksi JIT
         Terdapat beberapa kebijakan, aturan, dan prosedur manajemen produksi yang berkaitan dengan perencanaan dan penjadwalan produksi dalam operasi JIT. Beberapa kebijakan, aturan, dan prosedur tersebut disebut sebagai prinsip manajemen produksi JIT. Pada bab ini kita mencoba untuk mengembangkan prinsip umum yang dijelaskan pada bab sebelumnya dimana secara langsung difokuskan pada perencanaan dan penjadwalan produksi. Prinsip perencanaan dan penjadwalan produksi meliputi:
1.        Mencari jadwal produksi harian yang seragam
Mencari Jadwal Produksi Harian yang Seragam. Jadwal produksi harian yang seragam adalah jadwal produksi hari ke hari dimana hanya terdapat sedikit atau tidak ada variasi dalam kuantitas produksi diantara hari-hari tersebut. Untuk menyelesaikan jadwal produksi harian yang seragam dibutuhkan perencanaan aktivitas yang disebut load levelling. Load levelling adalah rencana produksi yang disusun dimana diperbolehkan adanya unitary level dari setiap produk agar memiliki fleksibilitas untuk mengubah dari bulan ke bulan, tetapi tetap setiap hari yang sama selama periode perencanaan bulanan. Pergeseran jumlah produk diizinkan pada basis bulanan untuk memenuhi pergeseran pada permintaan konsumen, tetapi produksi tiap hari dalam satu bulan diadakan secara bertingkat.
2.        Mencari fleksibilitas jadwal produksi.
Kapasitas produksi dapat disefinisikan sebagai kemampuan output dari suatu stasiun kerja (work center). Berdasarkan prinsip JIT yang pertama kita tahu bahwa suatu jadwal produksi dibuat untuk mengetahui permintaan konsumen. Karena kapasitas produksi untuk permintaan konsumen tersebut berada di bawah kendali manajemen, kita akan menentukan tingkatan kapasitas yang diperbolehkan memerlukan fleksibilitas untuk memenuhi pergeseran kecil dalam permintaan konsumen. Operasi JIT harus memiliki fleksibilitas yang cukup untuk menghadapi pergeseran harian dalam jadwal produksi (dan semua sistem pendukung lainnya termasuk vendor/pemasok yang menyediakan inventori) untuk menyesuaikan pergeseran aktual pada permintaan pasar.
Akan tetapi, sedapat mungkin upaya pengambilan keputusan oleh manajemen dapat mengimbangi biaya dari fleksibilitas ini. Terlalu banyak kapasitas yang menganggur akan menimbulkan pemborosan (waste), dan terlalu sedikit akan menyebabkan kekurangan inventori, lini yang menganggur, dan sejumlah besar ineffisiensi. Untungnya terdapat beberapa strategi JIT yang dapat digunakan untuk memandu pengambilan keputusan manajemen pada area ini. Salah satu strategi yang direkomendasikan pada operasi JIT memiliki upaya yang sederhana pada penjadwalan produksi dimana lebih sedikit daripada kapasitas penuh. Seberapa banyak kekurangan yang harus dijadwalkan tergantung pada biaya kelebihan maupun kekurangannya. Idealnya kapasitas dan produksi adalah sama satu sama lain. Ketika focus upaya pada operasi JIT adalah biasanya dimaksudkan untuk menghindari kapasitas berlebih (dimana dipandang sebagai pemborosan), strategi kelebihan kapasitas (excess capacity strategy) ditawarkan sebagai metode pengenalan untuk mengurangi kapasitas pada akhirnya. Ketika operasi JIT dimulai, penjadwalan berguna untuk menghindari pekerja yang tertekan akibat mempelajari metode dan kebiasaan kerja yang baru. Dengan penjadwalan pada kapasitas yang lebih sedikit daripada kapasitas penuh, pekerja diberi waktu untuk mengerti penggunaan JIT, dan mereka menggunakan beberapa waktu untuk mengembangkan aktivitas kerja mereka, menerima beberapa pelatihan, dan juga pelayanan perlatan. Pada akhirnya peningkatan akan dihasilkan pada suatu penjadwalan yang mendekati jadwal kapasitas penuh. (Waktu yang tidak digunakan untuk aktivitas kerja dinamakan pemborosan tetapi hal ini diperlukan pada tugas pengendalian kualias JIT yang penting lainnya)
3.        Mencari sistem tarik yang sinkron
Suatu operasi Sistem tarik hanya terdapat pada lingkungan produksi dimana permintaan konsumen yang diketahui dapat menjalankan upaya produksi. Jadwal produksi ditarik oleh, dan diharapkan sinkron dengan, permintaan aktual konsumen. Karena konsumen adalah diluar operasi JIT, penempatan konsumen pada suatu aktivitas pemesanan adalah untuk menarik inventori melewati atau di luar dari operasi produksi. Dengan kata lain pada sistem tarik, manajemen menentukan apa yang akan diproduksi berdasarkan para ramalan permintaan, dan mencoba menekan produksi dan inventori melalui operasi agar dapat memenuhi ramalan permintaan. Berdasarkan prinsip JIT ini, suatu operasi akan mencari sistem penjadwalan yang sinkron antara aktivitas produksi dengan permintaan yang ditarik melalui operasi dengan permintaan konsumen yang telah diketahui. Salah satu metode penjadwalan dengan sistem tarik yang paling umum digunakan dan dapat mendukung tipe operasi JIT adalah sistem kartu yang disebut kanban (dibaca kahnbahn).
4.        Menggunakan otomasi yang praktis
Pada operasi produksi JIT, otomasi biasanya meliputi robot, sensor elektronik, dan sistem pemindahan otomatis. Sebagai suatu prinsip yang umum, manajer produksi JIT hanya melakukan otomasi pada pekerjaan dimana dapat menampilkan performasi lebih baik dari manusia. Akibatnya, prinsip ini mencoba untuk mengalokasikan sumber berdasarkan rasio ekonomis. Manusia cerdas dan lebih fleksibel dalam penugasan kerja. Robot otomatis dapat lebih efisien dan akurat dalam penugasan kerja. Pada suatu operasi JIT, pekerja manusia ditugaskan pekerjaan yang secara ekonomis membutuhkan fleksibilitas yang tinggi daripada yang dapat ditampilkan oleh robot. Pada situasi yang lain, dimana pekerjaan yang melelahkan secara fisik, sederhana, atau membosankan, robot digunakan karena lebih efisien. Pada beberapa situasi, sensor elektronik yang dikendalikan oleh komputer jauh lebih akurat dalam mendeteksi kerusakan dan kekurangan yang dilakukan oleh manusia. Ini terutama sekali digunakan pada volume produksi yang tinggi, inspeksi item yang sederhana (misalnya kerja milling pada bagian yang dimesin) atau dimana suatu tingkat keakuratan yang tinggi diperlukan (misalnya pengukuran presisi tinggi).
Manusia biasanya lebih baik dalam menghilangkan kekurangan-kekurangan pada item yang besar (misalnya kekurangan pada suatu pekerjaan pengecatan dinding ruangan) atau pada produk dimana sensor tidak dapat ditempatkan dengan mudah (misalnya pada tepi bendungan yang sedang dibangun). Otomasi, untuk kepentingan otomasi, adalah pemborosan. Otomasi secara umum mahal dan cenderung mendekati fleksibilitas operasi terhadap kemampuan dari unit otomatis. Selama tahun 1980-an, beberapa organisasi yang mengadopsi JIT cenderung bergerak dari sistem otomatis. Pada tahun 1990-an sistem otomatis yang baru menemukan hubungannya dengan JIT.
5.        Mencari pabrik pusat
Pabrik pusat merupakan pabrik yang didedikasikan untuk memproduksi sejumlah tertentu dari produk yang berbeda dengan sejumlah proses yang berbeda pula. Suatu pabrik yang difokuskan untuk memproduksi satu jenis produk dengan menggunakan proses produksi tunggal, dengan pengaturan yang tidak dapat diubah merupakan pabrik pusat yang pokok. Pada operasi JIT dimana fleksibilitas adalah penting, pabrik pusat hanya menegaskan dimana terdapat suatu permintaan yang kontinu dan cukup untuk produk tunggal atau product family, sekelompok produk yang memerlukan kebutuhan produksi dan atau komponen inventori yang sama. Bagian dari prinsip pabrik pusat pada operasi JIT adalah untuk menyeimbangkan sejumlah proses produksi dengan kebutuhan fleksibilitas dalam memproduksi sejumlah produk yang sama pada suatu product family. Pabrik pusat pada JIT lebih fleksibel daripada pabrik pusat tradisional otomatis tingkat tinggi.
Pabrik pusat pada JIT mencoba meminimasi aliran produk dan pemborosan leadtime untuk work in progress (WIP). Gagasan untuk meminimasi pemindahan material diilustrasikan dengan mengubah layout pabrik. Pada kondisi produk tunggal dimana urutan proses produksi memperbolehkan suatu layout flow shop, pemindahan material dan waktu alir WIP dapat diminimasi. Pada beberapa situasi multi produk atau yang lebih kompleks, waktu setup untuk produksi lot besar (large-lot) adalah dapat dipertimbangkan, dan layout departemen lebih umum digunakan. Pada gambar 3-2 (a) ditampilkan suatu layout departemen. Garis tebal antar departemen menunjukkan aliran material. Terdapat empat departemen manufaktur pada gambar 3-2 (a) yang diberi nama untuk total dari enam komponen yang mereka hasilkan untuk dua produk akhir (produk 1 dan produk 2) di pabrik. Dengan kata lain komponen 1, 2, 3, dan 4 dirakit bersamauntuk membuat satu unit produk 1, dan komponen 5 dan 6 dirakit bersama untuk produk 2.
Pada khususnya, raw material  pada operasi lot besar (large-lot) terdapat pada Departemen Penerimaan (Receiving Departement), dan kemudian disimpan di Departemen Penyimpanan Bahan Baku. Dari sana berbagai raw material dikirim ke empat Departemen Pembuatan Komponen (Component Manufacturing Departement). Waktu setup antara bagian komponen yang berbeda pada Departemen Komponen 1 dan 2 serta Departemen Komponen 3 dan 4 akan membutuhkan waktu yang banyak dan peralatan yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan produksi komponen tersebut. Ketika satu bagian diubah menjadi bagian komponen, lalu mereka disimpan pada Departemen Penyimpanan Part (Component Part Inventory Departement) sampai dibutuhkan di Departemen Perakitan. Lot yang besar untuk produk 1 akan membutuhkan lot bagian komponen  1, 2, 3, dan 4 yang besar pula, serta lot yang besar untuk produk 2 akan membutuhkan lot bagian komponen 5 dan 6 yang besar. Ketika dirakit, Produk akhir akan disimpan pada Departemen Persediaan Barang Jadi sampai ada permintaan dari konsumen dan terakhir dikirim dalam jumlah lot yang besar dari Departemen Pengiriman.
Pada operasi JIT terpusat, layout yang dibutuhkan pada dasarnya lebih kecil dan membutuhkan lebih sedikit pemindahan material. Diasumsikan bahwa permintaan besar yang ada adalah umtuk menjamin dedikasi berkelanjutan dari fasilitas produksi untuk masing-masing dari dua produk yang terpisah (misal bagian atas dari fasilitas didedikasikan untuk produk 1 dan bagian bawah dari fasilitas untuk produk 2). Melalui Departemen Penerimaan untuk memisahkan departemen pembuatan komponen. Dengan membagi departemen manufaktur menjadi enam komponen individu, waktu setup dapat dikurangi, dan beberapa pemborosan peralatan dapat dihilangkan. Beberapa area penyimpanan persediaan dapat dieliminasi secara utuh, tarikan permintaan, lingkungan produksi yang seragam pada operasi JIT. Selain itu, aliran material dan WIP dapat berupa arah linier melalui fasilitasnya, sehingga dapat meminimasi flow time.
Departemen Perakitan (dan atau Departemen Penerimaan) yang dikombinasikan menjadi suatu departemen tunggal. Departemen Perakitan harus memiliki fleksibilitas yang cukup untuk mencocokkan dua produ yang berbeda. Untuk mencapai fleksibilitas ini, operasi JIT biasanya menggunakan suatu filosofi layout yang disebut group technology (GT). GT adalah sebuah filosofi yang mengidentifikasi kesamaan maupun ketidaksamaan part, peralatan, atau proses produksiuntuk mendapatkan keuntungan dari setup.
6.        Mencari peningkatan fleksibilitas pekerja
Dalam operasi JIT kita berusaha mendapatkan pekerja dengan kualitas tinggi, dan multiskill. Bukankah setiap orang menginginkan pekerja yang memiliki kualifikasi yang tinggi dan multiskill? Tidak, tidak jika tujuan operasional kita adalah untuk meminimasi biaya. Kebanyakan dari pekerja dibayar pada tingkat pencapaian tertinggi. Secara logika Managemen tidak ingin  membayar pekerja dengan gaji yang tinggi untuk pekerjaan tingkat rendah. Pada praktiknya, dalam meminimasi biaya di organisasi, caranya adalah dengan menyewa pekerja yang ahli seminimal mungkin untuk menyelesaikan pekerjaan dengan biaya paling kecil. Dalam tipe operasi ini, secara aktif menganjurkan adanya pergantian untuk mengeliminasi pekerja ahli yang terlalu banyak. Masalahnya adalah bahwa tiap kali dibutuhkan perubahan dalam produksi, pekerja baru dengan kualifikasi minimum harus dipekerjakan dan yang lainnya di PHK. Banyak perusahaan di Amerika yang tingkat pergantian pekerjanya sangat tinggi hal ini sama dengan mengubah pekerja dalam pabrik secara keseluruhan tiap lima tahun. Pergantian pekerja yang cepat ini menghalangi pencapaian prinsip- prinsip JIT jangka panjang, termasuk untuk mengeliminasi waste, peningkatan continous flow, penghargaan terhadap orang lain, dan perhatian jangka panjang yang telah didiskusikan pada chapter 1.
Beberapa strategi dilakukan dalam operasi JIT untuk mengatasi masalah pergantian secara cepat dan meningkatkan flaksibilitas pekerja. Startegi ini meliputi training dan penggunaan pekerja paruh waktu. Cross training yang luas dari personalia didesain untuk memberikan fleksibilitas penugasan kerja.Pekerja sebaiknya melakukan cross trained untuk mengetahui variasi dari job- job yang berbeda. Hal ini membutuhkan fleksibilitas manajemen dalam membuat penugasan kerja saat shift produksi dibutuhkan, dan juga membantu meyakinkan pekerja bahwa mereka akan disewa selama periode perubahan. Keuntungan dalam menyediakan pekerja tetap tidak dapat diterapkan. Ide dari apa yang orang Jepang gunakan untuk menyebut lifetime employmeny secara jelas menguntungkan firma- firma Jepang. Sayangnya, selama pekerja Jepang belajar, dan pekerja U.S. selalu tau, tidak ada yang namanya lifetime employment. Bukankah kemanpuan luas, cross-trained emplyees membutuhkan biaya yang lebih tinggi? Ya, pada umunya, hal tersebut meningkatkan boaya total. Tetapi keuntungan dari mengeliminasi biaya continual training  yang disebabkan oleh pergantian pekerja, biaya reschedulling produksi menutupi kerugian dari pekerja yang terlatih, biaya dari pekerja yang idle yang disebabkan oleh ketrampilan yang tidak tepat yang secara kontak harus dibayarkan, dan kualitas produk yang buruk yang disebabkan oleh kurangnya keterampilan pekerja, dapat lebih banyak dari biaya total yang disebabkan oleh memiliki pekerja yang memiliki kemampuan yang lebih baik. Pekerja multiskill dalam JIT akan memiliki kepercayaan diri bahwa mereka memiliki nilai lebih untuk pekerjaan, dan karenanya, tidak akan menyebabkan rapid turnover  untuk meminimasi biaya total.
Strategi lain yang digunakan untukmendapatkan fleksibilitas pekerja yang lebih tinggi adalah penggunaan part-time worker. Banyak firma- firma JIT mempekerjakan sebanyak setengah dari pekerja mereka sebagai part-time workers. Ada beberapa alasan mengapa part-time workers­ menguntungkan bagi operasi. Part- time workers tidak selalu menerima keuntungan finansial seperti full-time workers, sehingga mereka cenderung less-costly; mereka tidak dibutuhkan selama penurunan permintaan pelanggan, yang menuntut fleksibilitas yang lebih besar dari managemen untuk mencocokkan kebutuhan permintaan pelanggan; dan kehadiran mereka yang sementara memberikan pekerja full-time sense of job security yang lebih besar (karena pekerja part time akan diPHK lebih dahulu sebelum pekerja full-time selama penurunan demand pelanggan). Mengapa orang mau menjadi part-time worker dibawah kondisi yang tidak pasti seperti ini? Pekerjaan part time memberikan kesempatan bagi pekerja pemula untuk belajar bagaimana bekerja. Pada umumnya, pekerjaan part time memberikan fleksibilitas jam kerja yang lebih tinggi, memberikan penghasilan tambahan bagi keluarga, dan menyediakan jalan untuk memiliki kualifikasi bagi pekerjaan full-time saat lowongan dibuka.
7.        Mengurangi ukuran lot produksi dan biaya setup
Prinsip- prinsip managemen persediaan JIT dari mengurangi lot size pemesanan inventory dan meningkatkan frekuensi pemesanan dapat menciptakan masalah penjadwalan produksi utama. Jika pemesanan persediaan yang lebih kecil diaplikasikan dalam operasi JIT, maka hal tersebut akan memaksa production run yang lebih kecil tetapi lebih sering untuk menggunkan inventori yang ada. Masalahnya adalah dalam penanganan peningkatan biaya setup yang disebabkan oleh production run yang lebih kecil dan lebih sering. Untuk mendapatkan lot size produksi yang lebih kecil secara ekonomis dibutuhkan operasi JIT untuk mengurangi setup cost. Dalam prosedur yang dinamakan Economic Manufacturing Quantity (EMQ) analysis, fungsi biaya secara matematis digunakan untuk mencari minimasi biaya (contoh : meminimasi total carrying cost dan setup cost) nilai lot size dari EMQ. (Prosedur ini didasarkan pada metodologi yang sama seperti pendekatan model ‘EOQ’ yang telah dibahas pada chapter 2). Jika setup cost dapat dikurangi , lot size EMQ berkurang dari EMQ1 ke EMQ2. Pengurangan biaya setup membantu dalam mendapatkan jadwal pengurangan lot size produksi yang dibutuhkan untuk mendukung prinsip- prinsip inventory JIT.
Bagaimana biaya setup berkurang dalam operasi JIT? Ada beberapa strategi yang dapat digunakan, dan semuanya difokuskan pada penghilangan waste. Dari chapter 1 lima S dari pengaturan yang ringkas (seiri), rapih (seiton), bersih (seiso), terawat (seiketsu) dan disiplin (shitsuke) dapat membantu mengurangi setup time pada stasiun kerja. Kerugian utama setup time dapat disimpan dengan kemampuan untuk mendapatkan peralatan yang benar untuk melakukan pekerjaan. Jika stasiun kerja bersih, dan alat- alat secara tertata secara baik, maka dapat dengan efisien dipakai saat dibutuhkan. Untuk membantu kemudahan bagi pekerja dalam meletakkan peralatan kembali pada tempatnya semula, gambaran peralatan dapat  digambarkan pada tool’s holding book yang terletak pada dinding stasiun kerja dimana peralatan tersebut digunakan. Setiap saat setiap hari, baik pekerja dan manajer dapat mengobservasi dengan mudah peralatan apa saja yang tidak tergantung dengan baik pada tempatnya dan peralatan mana saja yang hilang.
Startegi sederhana lain untuk mengurangi waktu setup adalah pelatihan untuk merencanakan dan menjalankan aktivitas produksi pada stasiun kerja. Dalam bentuk cell GT, pekerja yang telah selesai dengan satu jenis produk dapat memulai changeover (tugas untuk melakukan setup peraltan dan inventory untuk sebuah kegiatan produksi) ke jenis produk lain segera setelah unit terakhir dari suatu lot melewati jadwal produksinya ke tingkat dimana sequence yang tepat bagi peralatan untuk tugas pengaturan harian dalam usaha untuk meminimasi setup lead time. Ahli JIT menganjurkan sebuah tujuan untuk mengurangi semua changeover atau setup time dalam situasi dimana proses produksi atau cell telah berhenti secara keseluruhan. bagian dari kegiatan perencanaan dan pelaksanaan tugas juga termasuk beberapa usaha dalam penyederhanaan kebutuhan setup. Sementara tidak selalu memungkinkan untuk  proses produksi yang kompleks, penyederhanaan kerja menyangkut redesain dari tugas- tugas setup job untuk membuat tugas lebih mudah bagi pekerja untuk mengingat dan melaksanakan. Terkadang, usaha ini membutuhkan pelatihan khusus bagi Industrial Engineer yang dapat mendesain peralatan baru dan layout stasiun kerja yang menyederhanakan kegiatan setup. Dalam kasus lain, seorang manager yang mengaplikasikan 5 S akan menyederhanakan dan mempersingkat setup lead time.
Akhirnya, prinsip pengurangan setup cost ini diperlihatkan sebagai tujuan dari peningkatan secara kontinu. Akan selalu ada biaya setup untuk produksi, tetapi mencari tujuan dari zero setup cost dipandang sama dengan kita mencari tujuan dari zero inventory.
8.        Memperbolehkan pekerja untuk menentukan aliran produksi
Setiap stasiun kerja yang memiliki GT cell atau assembly line seharusnya didesain untuk  memperkenankan pekerja dalam menentukan aliran produksi. Dengan kata lain, pekerja harus memutuskan kapan mereka menyelesaikan pekerjaan mereka pada sebuah produk sebelum dikirim pada stasiun kerja berikutnya. Banyak oprasi JIT mendesain lini produksi mereka agar tidak ada WIP dalam stasiun kerja sampai pekerja mengirimkannya. Pekerja yang percaya penugasan kerja adalah menyelesaikan aktivasi brake release pada item mengizinkannya melanjutkan ke stasiun kerja selanjutnya. Dangan cara ini, pekerja mengontrol aliran lini dan juga menerima tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan dengan baik – mereka tidak dapat berkata mereka tidak memilki waktu yang cukup untuk menyelesaikan tugas mereka. Kita akan membahas quality benefit dari tanggung jawab pekerja ini untuk pengendalin produksi pada chapter selanjutnya.
Dengan membiarkan pekerja mengendalikan lini produksi, manajemen dapat mengobservasi dengan lebih baik saat lini produksi tidak seimbang atau masalah produksi terjadi dapat mempengaruhi jadwal produksi. Jika antrian WIP terjadi dalam stasiun kerja, manajemen dapat mengidentifikasi dimana penugasan kerja memerlukan penyeimbangan, dimana pekerja training tambahan dibutuhkan, dimana peningikatan dalam setup lead time dibutuhkan, atau dimana komponen cacat datang dari vendor. Lebih penting lagi, prinsip JIT ini membantu untuk mengidentifikasi masalah yang dapat memperlambat proses produksi. Sekali diidentifikasi, manajer dan pekerja dapat bekerja sama untuk memecahkan masalah dan meningkatkan aliran produk. Usaha perencanaan produksi dan pemecahan masalah ini memicu banyak keuntungan dari proses productivity cycling yang didiskusikan dalam chapter 1.
Bagaimana manufaktur U.S. memperbolehkan pekerjanya untuk menentukan aliran produksi sedangkan mereka harus menggunkan MPS? Firma JIT merupakan pengguna besar dari production quotas sebagai tujuan unit produksi jangka pendek. Pekerja dalam stasiun kerja diminta untuk menyusun quota unit produksi harian yang berarti memperoleh tujuan set MPS managemen untuk keseluruhan operasi. Quota diatur dan ditempatkan dengan baik dalam fasilitas produksi untuk bertindak sebagai motivator (atau parasaan malu jika tidak terwujud). Cara lainnya, quota mengatur tujuan harian sehingga mudah untuk dimengerti dan membuat pekerja termotivasi untuk mengikuti MPS. Dalam operasi JIT, posting quota ini cenderung untuk grup atau tim dari pekerja daripada untuk individual. Menampilkan quota dengan cara seperti ini, membangun goup dan tem spirit, yang merupakan tenaga yang besar bagi produktifitas.
9.        Memperbaiki komunikasi dan kontrol visual 
Penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan komunikasi sangat penting untuk kesuksesan JIT. Specific area of action atau startegi komunikasiyang akan memfasilitasi performansi JIT termasuk planning meetings yang melibatkan banyak departemen,  kewajiban komunikasi departemen yang tergabung yang melibatkan seluruh area operasi produksi, Meeting departemen khusus, yang mengkomunikasikan ide kontinu dan kepentingan JIT, informasi tertulis kontinu membahas prinsip JIT, mendorong komunikasi informal antara pekerja sebagai subjek JIT, dan pertemuan individual antara manajer dan subordinat mereka untuk membahas tujuan JIT.
Memperbaiki komunikasi tidak hanya menyangkut pembahasan tujuan JIT, tetapi juga memperlihatkan bahwa tujuan tersebut sedang dilakukan. Operasi JIT harus didesain untuk memfasilitasi apa yang terkadang disebut sebagai visibility management, yang mempertinggi pengendalian managemen dan perbaikan saat deviasi tujuan diobservasi. Posting produktivitas grup atau tim merupakan satu contoh visibility management. Informasi yang diposting berfungsi untuk memberikan informasi pengendalian produksi yang dapat dengan mudah dilihat dan dimengerti. Visibility management juga menyangkut desain layout keseluruhan dari fasilitas produksi. Dengan mendesain fasilitas untuk memfasilitasi observasi dari deviasi terhadap tujuan JIT, manager dan pekerja akan termotivasi untuk memecahkan masalah yang dapat menyebabkan ketidakefisiensian di dalam produksi dengan lebih cepat. Satu cara operasi JIT dapat memfasilitasi lingkungan kerja yang lebih visibel adalah dengan mengeliminasi dinding interior plant. Hal ini mencegah pekerja dan manager untuk menyembunyikan masalah produksi. Masalah assembly produk yang mungkin dapat dicegah dengan meletakkan papan peringatan di dinding plant yang menggmbarkan kerja yang tidak baik. Papan peringatan, mengilustrasikan masalah pekerja yang potensial yang umumnya terjadi; bertindak sebagai continual reminder dari apa yang pekerja harus perhatikan untuk pencegahan dalam pekerjaannya.
Visibility management juga ditujukan pada waktu produksi pekerja sisa. Mari kita melihat pada satu contoh bagaimana meningkatkan visibility dalam mengendalikan mekanisme dapat menyimpan waktu produksi pekerja. Misalkan seorang pekerja harus mengecek dan memastikan rangkaian dari empat ukuran pada tingkat tekanan optimum dengan tujuan untuk memulai proses produksi. Misalkan tiap pengukur mengukur sebuah part yang berbeda dari proses produksi, dan seperti biasanya, memiliki tingkat tekanan optimum yang berbeda-beda. Mesikipun jika pengukur tersebut ada pada tingkat optimalnya, pekerja harus tau atau memeriksa tingkat optimum tiap pengukur untuk meyakinkan semuanya berada pada level tekanan yang diinginkan. Pada susunan ini tingkat tekanan optimaluntuk masing-masing ukuran akan dicapai saat panah penunjuk ukuran berada pada arah vertikal, menunjuk ke atas. Sekarang pekerja tidak harus tahu berapa tingkat optimal individual yang ditetapkan jika tidak ada tekanan, hanya penyimpangan yang ada jika panah tidak dalam arah vertikal. Menggunakan ini mengembangkan penyetelan visual pada ukuran, seorang pekerja dapat lebih cepat menetapkan tingkat tekanan optimal, menjaga waktu produksi pekerja dan meningkatkan produktivitas pekerja. Perencanaan produksi JIT dan prinsip penjadwalan dalam bagian ini sama sekali tidak lengkap. Dasar-dasar yang ada hanya memberikan pengenalan singkat pada dasar manajemen produksi JIT. Semuanya mencoba untuk menggambarkan kesederhanaan dan manfaat logis dalam manajemen produksi JIT.
Fasilitas produksi JIT tidak memerlukan investasi teknologi yang baik, tapi harus mempunyai  manajemen dan partisipasi pekerja yang penuh dan kontinyu. Sebagai tambahan untuk memandu prinsip, ada beberapa metodologi yang mendukung perencanaan produksi JIT dan penjadwalan. Salah satu dari metodologi JIT dikenal sebagai metode penjadwalan model campuran (mixed model scheduling).
     
2.4       Pengertian Just In Time
Just In Time adalah suatu keseluruhan filosofi operasi manajemen dimana segenap sumber daya, termasuk bahan baku dan suku cadang, personalia, dan fasilitas dipakai sebatas dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk mengangkat produktifitas dan mengurangi pemborosan. Just In Time didasarkan pada konsep arus produksi yang berkelanjutan dan mensyaratkan setiap bagian proses produksi bekerja sama dengan komponen lainnya. Tenaga kerja langsung dalam lingkungan Just In Time dipertangguh dengan perluasan tanggung jawab yang berkontribusi pada pemangkasan pemborosan biaya tenaga kerja, ruang dan waktu produksi. Metode produksi Just In Time mensyaratkan tidak adanya persediaan bahan baku karena bahan baku dan suku cadang dijadwalkan untuk sampai ke pabrik dari pemasok hanya pada saat dibutuhkan saja.
Filosofi JIT difokuskan pada aktivitas yang dibutuhkan oleh agen internal lain dalam organisasi 4 aspek fundamental JIT ,Yaitu:
1.        Semua aktivitas yang tidak bernilai terhadap produk atau jasa akan dieliminasi. Ini menyangkut aktivitas atau SD (Sumber Daya) yang akan dikurangi atau dihilangkan.
2.        Adanya komitmen terhadap kualitas yang tinggi. Melakukan hal yang baik pertama kali adalah yag terpenting dimana tidak ada waktu untuk pengerjaan ulang
3.        Perbaikan berkelanjutan dalam efisiensi aktivitas sangat diperlukan
4.        Penyederhanaan dan peningkatan nilai tambah aktivitas sangat ditekankan. Ini membantu mengidentifikasi aktivitas yang tidak memberi nilai tambah
Sistem produksi tepat waktu (Just In Time) adalah sistem produksi atau sistem manajemen fabrikasi modern yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan Jepang yang pada prinsipnya hanya memproduksi jenis-jenis barang yang diminta sejumlah yang diperlukan dan pada saat dibutuhkan oleh konsumen.
JIT mempunyai empat  aspek pokok. Berikut adalah aspek dalam JIT:
1.        Produksi Just In Time (JIT), adalah memproduksi apa yang dibutuhkan hanya pada saat dibutuhkan dan dalam jumlah yang diperlukan.
2.        Autonomasi merupakan suatu unit pengendalian cacat secara otomatis yang tidak memungkinkan unit cacat mengalir ke proses berikutnya.
3.        Tenaga kerja fleksibel, maksudnya adalah mengubah-ubah jumlah pekerja sesuai dengan fluktuasi permintaan.
4.        Berpikir kreatif dan menampung saran-saran karyawan
Tujuan utama yang ingin dicapai dari sistem JIT adalah:
1.        Zero Defect (tidak ada barang yang rusak)
2.        Zero Set-up Time (tidak ada waktu set-up)
3.        Zero Lot Excesses (tidak ada kelebihan lot)
4.        Zero Handling (tidak ada penanganan)
5.        Zero Queues (tidak ada antrian)
6.        Zero Breakdowns (tidak ada kerusakan mesin)
7.        Zero Lead Time (tidak ada lead time)
Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan Just In Time, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.        Aliran Material yang lancar
Sederhanakan pola aliran material. Untuk itu dibutuhkan pengaturan total pada lini produksi. Ini juga membutuhkan akses langsung dengan dan dari bagian penerimaan dan pengiriman. Tujuannya adalah untuk mendapatkan aliran material yang tidak terputus dari bagian penerimaan dan kemudian antar tiap tingkat produksi yang saling berhubungan secara langsung, samapi pada bagian pengiriman. Apapun yang menghalangi aliran yang merupakan target yang haru diselidiki dan dieliminasi.
2.        Pengurangan waktu set-up
Sesuai dengan JIT, terdapat beberapa bagian produksi diskret yang memilki waktu set-up mesin yang kadang-kadang membutuhkan waktu beberapa jam. Hal ini tidak dapat ditoleransi dalam sistem JIT. Pengurangan waktu setup yang dramatis telah dapat dicapai oleh berbagai perusahaan, kadang dari 4-7 jam menjadi 3-7 menit. Ini membuat ukuran batch dapat dikurangi menjadi jumlah yang sangta kecil, yang mengijinkan perusahaan menjadi sangat fleksibel dan responsif dalam menghadapi perubahan permintaan konsumen.
3.        Pengurangan lead time vendor
Sebagai pengganti dari pengiriman yang sangat besar dari komponen-komponen yang harus dibeli setiap 2/3 bulan, dengan sistem JIT kita ingin menerima komponen tepat pada saat operasi produksi membutuhkan. Untuk itu perusahaan kadang-kadang harus membuat kontrak jangka panjang dengan vendor untuk mendapatkan kondisi seperti ini.
4.        Komponen zero defect
Sistem JIT tidak dapat mentolelir komponen yang cacat, baik itu yang diproduksi maupun yang dibeli. Untuk komponen yang diproduksi, teknis kontrol statistik harus digunakan untuk menjamin bahwa semua proses sedang memproses komponen dalam toleransi setiap waktu. Untuk komponen yang dibeli, vendor diminta untuk menjamin bahwa semua produk yang mereka sediakan telah diproduksi dalam sistem produksi yang diawasi secara satistik. Perusahaan kan selalu memiliki program sertifikasi vendor untuk menjamin terlaksananya hal ini.
5.        Kontrol lantai produksi yang disiplin
Dalam system pengawasan lantai produksi tradisional, penekanan diberikan pada utilitas mesin, waktu produksi yang panjang yang dapat mengurangi biaya set up dan juga pengurangan waktu pekerja. Untuk itu, order produksi dikeluarkan dengan memperhatikan faktorfaktor ini. Dalam JIT, perhitungan performansi tradisional ini sangat jauh dari keinginan untuk membentuk persediaan yang rendah dan menghilangkan halhal yang menghalangi operasi yang responsif. Hal ini membuat waktu awal pelepasan order yang tepat harus dilakukan setiap saat. Ini juga berarti, kadangkadang mesin dan operator mesin dapat saja menganggur. Banyak manajer produksi yang telah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menjaga agar mesin dan tenaga kerja tetap sibuk, mendapat kesulitan membuat penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan agar berhasil menggunakan operasi JIT. Perusahaan yang telah berhasil mengimplementasikan filosofi JIT akan mendapatkan manfaat yang besar.

2.5       Sejarah Just In Time
Teori konsep Just In Time (JIT) ditemukan oleh seorang berkebangsaan jepang bernama Taiichi Ohno dari perusahaan Toyota. Perhitungan serta kerja sama yang baik antara penyalur, pemasok dan bagian produksi haruslah baik. Keterlambatan akibat salah perhitungan atau kejadian lainnya dapat menghambat proses produksi sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan.Konsep just in time adalah suatu konsep di mana bahan baku yang digunakan untuk aktifitas produksi didatangkan dari pemasok/supplier tepat pada waktu bahan itu dibutuhkan oleh proses produksi, sehingga akan sangat menghemat bahkan meniadakan biaya persediaan barang/penyimpanan barang/stocking cost.
JIT system juga kadang disebut Kanban. Kanban adalah bendera atau potongan kertas yang berisi informasi yang jelas untuk pemesanan material kebutuhan produksi. Bendera atau potongan kertas tersebut disebut kanban card, di sirkulasikan sistematis untuk mulai mengambil bahan mentah untuk keperluan produksi.
Penerapan konsep JIT berdampak pada organisasi dengan menaikan tingkat layanan  dengan biaya rendah dengan demikian memperbaiki keuntungan.
Just In Time (JIT) adalah konsep pengendalian bahan baku yang digunakan untuk produksi dengan cara mengurangi waktu tunggu (idle), dengan kata lain bahan baku akan tiba pada saat dibutuhkan. Terdapat resiko dalam menjalankan konsep JIT, perusahaan harus mampu bekerjasama dengan pemasok. Keuntungan dari konsep ini adalah dari sisi supply chain maka tidak diperluakan ruang simpan (warehouse) yang besar, dari sisi finance maka tidak ada inventory berlebih yang harus diakui sebagai asset perusahaan.
Just in Time dikembangkan oleh Toyota Motor Corporation tahun 1973. Tujuan utamanya adalah pengurangan biaya atau perbaikan produktivitas dengan menghilangkan berbagai pemborosan. Pengembangan yang sangat penting dalam perencanaan dan pengendalian operasional saat ini adalah JIT manufacturing yang kadang disebut sebagai”produk tanpa persedian”. JIT bukan hanya sekedar sebuah metode yang bertujuan untuk mengurangi persediaan. JIT juga memperhatikan keseluruhan system produksi sehingga komponen yang bebas dari cacat dapat disediakan untuk tingkat produksi selanjutnya tepat ketika mereka dibutuhkan – tidak terlambat dan tidak terlalu cepat.

2.6       Penerapan JIT dalam berbagai bidang fungsional perusahaan
Pembelian JIT adalah sistem penjadwalan pengadaan barang dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan penyerahan segera untuk memenuhi permintaan atau penggunaan. Pembelian JIT dapat mengurangi waktu dan biaya yang berhubungan dengan aktivitas pembelian dengan cara:
1.        Mengurangi jumlah pemasok sehingga perusahaan dapat mengurangi sumber-sumber yang dicurahkan dalam negosiasi dengan pamasoknya.
2.        Mengurangi atau mengeliminasi waktu dan biaya negosiasi dengan pemasok.
3.        Memiliki pembeli atau pelanggan dengan program pembelian yang mapan.
4.        Mengeliminasi atau mengurangi kegiatan dan biaya yang tidak bernilai tambah.
5.        Mengurangi waktu dan biaya untuk program-program pemeriksaan mutu.
            Penerapan pembelian JIT dapat mempunyai pengaruh pada sistem akuntansi biaya dan manajemen dalam beberapa cara sebagai berikut:
1.        Ketertelusuran langsung sejumlah biaya dapat ditingkatkan.
2.        Perubahan “cost pools” yang digunakan untuk mengumpulkan biaya.
3.        Mengubah dasar yang digunakan untuk mengalokasikan biaya sehingga banyak biaya tidak langsung dapat diubah menjadi biaya langsung.
4.        Mengurangi perhitungan dan penyajian informasi mengenai selisih harga beli secara individual
5.        Mengurangi biaya administrasi penyelenggaraan sistem akuntansi.
            Produksi JIT adalah sistem penjadwalan produksi komponen atau produk yang tepat waktu, mutu, dan jumlahnya sesuai dengan yang diperlukan oleh tahap produksi berikutnya atau sesuai dengan memenuhi permintaan pelanggan. Produksi JIT dapat mengurangi waktu dan biaya produksi dengan cara:
1.        Mengurangi atau meniadakan barang dalam proses dalam setiap workstation (stasiun kerja) atau tahapan pengolahan produk (konsep persediaan nol).
2.        Mengurangi atau meniadakan “Lead Time” (waktu tunggu) produksi (konsep waktu tunggu nol).
3.        Secara berkesinambungan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengurangi biaya setup mesin-mesin pada setiap tahapan pengolahan produk (workstation).
4.        Menekankan pada penyederhanaan pengolahan produk sehingga aktivitas produksi yang tidak bernilai tambah dapat dieliminasi.
            Perusahaan yang menggunakan produksi JIT dapat meningkatkan efisiensi dalam bidang:
1.        Lead time (waktu tunggu) pemanufakturan
2.        Persediaan bahan, barang dalam proses, dan produk selesai
3.        Waktu perpindahan
4.        Tenaga kerja langsung dan tidak langsung
5.        Ruangan pabrik
6.        Biaya mutu
7.        Pembelian bahan
            Penerapan produksi JIT dapat mempunyai pengaruh pada sistem akuntansi biaya dan manajemen dalam beberapa cara sebagai berikut:
1.        Ketertelusuran langsung sejumlah biaya dapat ditingkatkan
2.        Mengeliminasi atau mengurangi kelompok biaya (cost pools) untuk aktivitas tidak langsung
3.        Mengurangi frekuensi perhitungan dan pelaporan informasi selisih biaya tenaga kerja dan overhead pabrik secara individual
4.        Mengurangi keterincian informasi yang dicatat dalam “work tickets”

2.7       Pemanufakturan JIT dan Penentuan Biaya Produk
Pemanufakturan JIT menggunakan pendekatan yang lebih memusat daripada yang ditemui dalam pemanufakturan tradisional.Penggunaan sistem pemanufakturan JIT mempunyai dampak pada:
1.        Meningkatkan Keterlacakan (Ketertelusuran) biaya.
2.        Meningkatkan akurasi penghitungan biaya produk.
3.        Mengurangi perlunya alokasi pusat biaya jasa (departemen jasa)
4.        Mengubah perilaku dan relatif pentingnya biaya tenaga kerja langsung.
5.        Mempengaruhi sistem penentuan harga pokok pesanan dan proses.
            Dasar-dasar pemanufakturan JIT dan perbedaannya dengan pemanufakturan tradisional:
1.        JIT Dibandingkan dengan Pemanufakturan Tradisional.
       Pemanufakturan JIT adalah sistem tarikan permintaan (Demand-Pull). Tujuan pemanufakturan JIT adalah memproduksi produk hanya jika produk tersebut dibutuhkan dan hanya sebesar jumlah permintaan pembeli (pelanggan). Beberapa perbedaan pemanufakturan JIT dengan Tradisional meliputi:
a.         Persediaan Rendah
b.         Sel-sel Pemanufakturan dan Tenaga Kerja Interdisipliner
c.         Filosofi TQC (Total Quality Control)
2.        JIT dan Ketertelusuran Biaya Overhead
Dalam lingkungan JIT, beberapa aktivitas overhead yang tadinya digunakan bersama untuk lebih dari satu lini produk sekarang dapat ditelusuri secara langsung ke satu produk tunggal. Manufaktur yang berbentuk sel-sel, tanaga kerja yang terinterdisipliner, dan aktivitas jasa yang terdesentralisasi adalah karakteristik utama JIT.
JIT
TRADISIONAL
Sistem Pull-through
Persediaan tidak signifikan
Sel-sel pemanufakturan 
Tenaga kerja terinterdisipliner
Pengendalian mutu (TQC)
Dsentralisasi  jasa
Sistem Push-through
Persediaan signifikan
Berstruktur departemen
Tenaga kerja terspesialisasi
Level mutu akseptabel (AQL)
Sentralisasi jasa
3.        Keakuratan Penentuan Biaya Produk dan JIT
Salah satu konsekuensi dari penurunan biaya tidak langsung dan kenaikan biaya langsung adalah meningkatkan keakuratan penentuan biaya (Harga Pokok Produk). Pemanufakturan JIT, dengan mengurangi kelompok biaya tidak langsung dan mengubah sebagian besar dari biaya tersebut menjadi biaya langsung maupun sebaliknya, dapat menurunkan kebutuhan penaksiran yang sulit.
4.        JIT dan Alokasi Biaya Pusat Jasa
Dalam manufaktur tradisional, sentralisasi pusat-pusat jasa memberikan dukungan pada berbagai departemen produksi. Dalam lingkungan JIT, banyak jasa didesentralisasikan.Hal ini dicapai dengan membebankan pekerja dengan keahlian khusus secara langsung ke lini produk dan melatih tenaga kerja langsung yang ada dalam sel-sel untuk melaksanakan aktivitas jasa yang semula dilakukan oleh tenaga kerja tidak langsung.
5.        Pengaruh JIT pada Biaya Tenaga Kerja Langsung
Sebagai perusahaan yang menerapkan JIT dan otomatisasi, biaya tenaga kerja langsung tradisional dikurangi secara signifikan.Oleh sebab itu ada dua akibat:
a.         Persentasi biaya tenaga kerja langsung dibandingkan total biaya produksi
menjadi berkurang
b.         Biaya tenaga kerja langsung berubah dari biaya variabel menjadi biaya
tetap.
6.        Pengaruh JIT pada Penilaian  Persediaan
Salah satu masalah pertama akuntansi yang dapat dihilangkan dengan penggunaan pemanufakturan JIT adalah kebutuhan untuk menentukan biaya produk dalam rangka penilaian persediaan. Jika terdapat persediaan, maka persediaan tersebut harus dinilai, dan penilaiannya mengikuti aturan-aturan tertentu untuk tujuan pelaporan keuangan. Dalam JIT diusahakan  persediaan nol (atau paling tidak pada tingkat yang tidak signifikan), sehingga penilaian persediaan menjadi tidak relevan untuk tujuan pelaporan keuangan.Dalam JIT, keberadaan penentuan harga pokok produk hanya untuk memuaskan tujuan manajerial. Manajer memerlukan informasi biaya produk yang akurat untuk membuat berbagai keputusan misalnya:
a.         penetapan harga jual berdasar cost-plus,
b.         analisis trend biaya,
c.         analisis profitabilitas lini produk,
d.        perbandingan dengan biaya para pesaing,
e.         keputusan membeli atau membuat sendiri,
7.        Pengaruh JIT pada Harga Pokok Pesanan
Dalam penerapan JIT untuk penentuan order pesanan, pertama, perusahaan harus memisahkan bisnis yang sifatnya berulang-ulang dari pesanan khusus.Selanjutnya, sel-sel pemanufakturan dapat dibentuk untuk bisnis berulang-ulang.
Dengan mereorganisasi tata letak pemanufakturan, pesanan tidak membutuhkan perhatian yang besar dalam mengelompokkan harga pokok produksi. Hal ini karena biaya dapat dikelompokkan pada level selular. lagi pula, karena  ukuran lot sekarang lebih sangat kecil,maka tidak praktis untuk menyusun kartu harga pokok pesanan untuk setiap pesanan. Maka lingkungan pesanan akan menggunakan sifat sistem harga pokok proses.
8.        Penentuan Harga Pokok Proses dan JIT
Dalam metode  proses, perhitungan biaya per unit akan menjadi lebih rumit karena adanya persediaan barang dalam proses. Dengan menggunakan JIT, diusahakan persediaan nol, sehingga penghitungan unit ekuivalen tidak terlalu dibutuhkan, dan tidak perlu menghitung biaya dari periode sebelumnya. JIT secara signifikan mengarah pada penyederhanaan.
9.        JIT dan Otomasi            
Sejak sistem JIT digunakan, biasanya hanya menunjukkan kemungkinan otomasi dalam beberapa hal. Karena tidaklah umum bagi perusahaan yang menggunakan JIT untuk mengikutinya  dengan  pemilikan  teknologi pemenufakturan maju. Otomasi perusahaan untuk :
a.         menaikkan kapasitas produksi,
b.         menaikkan efisiensi,
c.         meningkatkan mutu dan pelayanan,
d.        menurukan waktu pengolahan,
e.         meningkatkan keluaran.

Otomasi meningkatkan kemampuan untuk menelusuri biaya pada berbagai produk secara individual. sebagai contoh sel-sel FMS, merupakan rekan terotomasi dari sel-sel pemanufakturan JIT. Jadi. beberapa biaya yang merupakan biaya yang tidak langsung dalam lingkungan tradisional sekarang menjadi biaya langsung.
10.    Penentuan Harga Pokok Backflush
Penentuan harga pokok backflush mengeliminasi rekening barang dalam proses dan membebankan biaya produksi secara langsung pada produk selesai. Perusahaan menggunakan backflush costing jika terdapat kondisi-kondisi sebagai berikut :
a.         Manajemen ingin sistem akuntansi yang sederhana.
b.         Setiap produk ditentukan biaya standarnya.
c.         Metode ini menghasilkan penentuan harga pokok produk yang kira-kira
mengasilkan informasi keuangan yang sama dengan penelusuran secara
berurutan.

2.8       Mengenal sistem produksi tepat waktu
Sistem produksi Jepang dikenal dengan nama Sistem Produksi Tepat Waktu ( Just In Time ). Filosofi dasar dari sistem produksi Jepang (JIT) adalah memperkecil ke mubadziran. Bentuk kemubadziran antara lain adalah:
1.        Kemubadziran Waktu Misalnya ada pekerja yang menganggur, mesin yang menganggur, waktu transport dalam pabrik tidak efisien, jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material dan sebagainya.
2.        Kemubadziran dalam material Misalnya terlalu banyak buangan akibat proses produksi, banyak terjadi kerusakan material atau material dalam proses, banyaknya material yang hilang, nilai material yang turun akibat terlalu lama disimpan.
3.        Kemubadziran dalam manajemen Misalnya terlalu banyak karyawan kantor, banyak terjadinya mis-informasi antar departemen, banyak overlapping dapam penugasan, pelaksanaan tugas yang tidak efektif.
Jepang melakukan eliminate of waste karena Jepang tidak punya resources yang cukup. Untuk dapat melaksanakan Eliminate Of Waste Jepang melakukan strategi yaitu:
1.        Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan
2.        Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan
3.        Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan
Tujuan utama dari sistem JIT adalah untuk dapat memproduksi produk dengan kualitas terbaik, ongkos termurah, dan pengiriman pada saat yang tepat. Tujuan utama ini bisa dicapai jika unsur berikut dapat dilaksanakan secara terpadu, yaitu melakukan pengendalian kuantitas dengan baik.
Untuk dapat menentukan kuantitas yang tepat maka diperlukan sistem informasi yang baik. Sistem informasi untuk memproses produk tersebut, di Jepang dikenal dengan istilah Kanban (kartu berjalan). Pelaksanaan pengendalian kuantitas akan berjalan dengan baik jika didukung oleh suplier dan consumer yang pasti dan tepat waktu. Jika hal ini dapat dilakukan maka kita akan dapat mengeliminir waste dalam material sehingga konsep Zerro Inventory dapat dilaksanakan.
Dalam melakukan pengendalian kualitas di Jepang dikenal dengan istilah TQC ( Total Quality Control ). Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi konsep Zerro Defect. Didalam sistem produksi di Jepang tidak ada departemen pengendaliankualitas, tetapi yang ada adalah Quality Assurance. Konsep Zerro Defect tersebut akan dapat berjalan dengan baik jika para [pekerja diberi kewenangan, agar tidak memberikan hasil produk yang tidak baik ke rekan kerja berikutnya sehingga tidak menyusahkan pekerja lainnya.
Menjunjung tinggi harkat kemanusiaan karyawan. Didalam sistem produksi dikenal 5 faktor produksi yang penting agar produksi dapat berjalan dengan baik yang dikenal dengan istilah lima M, yaitu Man, Machine, Material, Money, Method. JIT tidak ingin menganggap Man hanya sebagai salah satu faktor produksi saja, tetapi lebih dari itu yakni ingin mengangkat harkat kayawan sehingga ia merasa mamiliki sebagian dari perusahaan. Untuk dapat melakukan ini ada 3 cara yaitu:
1.        Otonomi ( kewenangan ) Karena karyawan sebagai pelaku dan penentu dalam proses produksi maka perlu kewenangan sehingga dapat mengambil keputusan sesuai dengan batasan tugas dan tanggungjawabnya.
2.        Flexsibility Karyawan perlu mengetahui dan bisa melakukan pekerjaan lain diluar pekerjaannya.
3.        Creativity Jika wewenang, tanggung jawab, job, dan flexsibility sudah dimiliki karyawan tetapi kreativitas belum tersalurkan maka akan muncul kejengkelan dari karyawan.
2.9       JIT Purchasing
Dengan pembelian dalam JIT, tambahan barang akan di jadwalkan diantarkan dengan segera pada saat akan dibutuhkan/digunakan. Organisasi/ perusahaan ini memesan lebih banyak dibandingkan dengan yang diharuskan oleh permintaan atau penggunaan singkat dan sering kali persediaan disimpan dalam gudang untuk berminggu atau lebih lama. Berikut adalah aktivitas pada JIT purchasing:
1.        Karakteristik Aktivitas Pengoperasian
Organisasi atau perusahaan yang mengadopsi JIT purchasing melaporkan peningkatan subtantial dalam pengantaran individu.masing masing mengandung lebih sedikit unit biaya dan waktu yang berhubungan dengan aktivitas pembeliaan dikurangi dengan mengurangi jumlah pemasok dan konsekuensi sumber daya diperhatikan dari negosiasi pembelian. Sebagai contoh Apple computer mengurangi vendornya dari 400 mnjadi 75 dan 19 cos mengurangi pemasok dari 640 menjadi 32
2.        Penetapan harga dan tingkat kualitas yg dapat diterima dalam perjanjiaan jangka panjang dengan pemasok ,mengeliminasi negosiasi untuk masing masing transaksi pembeliaan. Kriteria pembeli produk beberapa pengadopsi JIT mengunakan pengiriman terdepan.
3.        Memiliki penetapan program pembeli untuk memberitahu vendor mengenai kualitas dan syarat pengiriman
4.        Menggunakan Shop –ready container
Aktivitas berhubungan dengan pengepakan dan tidak pengepakan adalah contoh bagaimana kos tidak bernilai tambah seringkali diadakan
5.        Biaya atau kos untuk program inspeksi kualitas yang baru masuk dikurangi?
Penetapan tujuan perusahaan yang ditujukan pada JIT purchasing ialah ambisius contoh yang diberikan konsultan mengenai bagaimana peningkatan tujuan spesifikasi yang sangat agresif. Produktivitas dan perbaikan harga pemasok (90%) ; total persediaan dan pengurangan waktu (90%), kualitas tanpa inspeksi (100%), Kinerja terjadwal (100%).
Implikasi terhadap kos accounting adalah meningkatkan kemampuaan meniru kos langsung dalam JIT adanya peningkatan dalm kemampuaamn meniru kos langsung terhadap pengecer individual / jalur produksi dan mengubah kelompok kos dimana digunakan untuk mengakumulasikan kos yang dialokasikan. Departemen produksi dalm lingkungan pembeliaan traditional dikelompokkan atas 2 cara yaitu, masing-masing kelompok biaya dialokasikan terhadap masing-masing departemen produksi.Pembelian gudang dan kos yang berhubungan dikumpulkan dalam satu atau lebih kelompok kos agregat dan dialokasikan ke masing-masing departemen produksi. Dalam lingkungan pembelian JIT yang ideal, gudang harus dieliminasi dan kos penanganan material harus dikurangi.

2.10     METODE PENJADWALAN MODEL CAMPURAN
Andaikata sebuah perusahaan baru saja menyusun GT cellnya. Mereka ingin mengubah jadwal lot besar bulanannya menjadi jadwal seragam harian JIT. Tipe keadaan ini telah dijelaskan sebelumnya. Perusahaan akan memulai dengan mengambil permintaan campuran produk bulanan  dan mengubahnya ke dalam 20 hari permintaan seragam. Campuran produk (atau model produk yang berbeda) dihasilkan dalam sehari memenuhi mixed model scheduling. Pertanyaan menjadi satu dari menetapkan ukuran dan frekuensi lot berlangsung dalam tiap hari untuk tiap produk dalam campuran. Mixed model schedul  terjadi untuk menyarankan 3 proses dengan 250 unit poduk A, 750 unit produk B dan 50 unit produk C mengerjakan jadwal produksi harian yang seragam. Tetapi jika proses produksi harian lebih kecil meningkatkanefisiensi produksi, akankah sebuah pemotongan masih sebagai kelanjutan 6, 12, atau 90 proses produksi yang lebih kecil dalam satu periode hari meningkatkan efisiensi? Jawabannya adalah ya; lebih kecil, hampir proses produksi per satuan akan menciptakan aliran produksi terlancar yang mungkin. Aliran produksi lebih lancar, produktivitas meningkat dengan mengeliminasi ketidakseimbangan aliran produksi. Selain itu juga, semakin lancarnya aliran produksi, semakin sedikit perubahan permintaan pada perencanaan persediaan, sehingga memaksimalkan keuntungan manajemen inventory JIT.
Jika proses produksi semakin kecil tiap hari bermanfaat, bagaimana cara kita melaksanakan penjadwalan proses produksi? Secara rinci, bagaimana seharusnya membedakan model produk yang dirangkai sepanjang jadwal produksi harian? Jawaban untuk masalah penjadwalan ini ditemukan dengan menggunakan metode mixed model scheduling. Metode mixed model scheduling adalah prosedur yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah minimal unit ke sequence proses produksi untuk jadwal produksi harian. Metode ini berdasarkan pada minimasi ukuran lot (lot size) dan menentukan ukuran proses produksi. Sementara metode ini mencoba untuk mencapai prinsip JIT dalam produksi per satuan, lot size untuk poduk harus lebih besar dari satu untuk memaksimasi aliran produksi.

2.11     SISTEM KARTU KANBAN
Kanban adalah penjadwalan produksi dan sistem kartu pengendali inventory. Istilah jepang kanban dapat diartikan sebagai ”kartu”. Sistem kanban menggunakan paper card untuk mengendalikan penjadwalan aktivitas produksi dan penggunaan inventory. Kanban card mungkin dapat dibuang 4 dari 8 inchi kartu atau kartu plastik yang reusable. Sementara sistem JIT tidak harus mempunyai sistem kanban untuk beroperasi, suatu sistem kanban mendukung lingkungan JIT agar dapat diterapkan dalam unitary atau produksi lot kecil.
Ada beberapa tipe kanban card yang masing-masing digunakan untuk menandai otorisasi beberapa produksi atau kegiatan inventory. Kanban card meliputi kartu otorisasi produksi, kartu otorisasi vendor, dan kartu otorisasi pengankutan.
1.        Kartu otorisasi produksi menandakan bahwa produksi item persediaan dapat dimulai. Kanban ini biasanya mendata nama produk, nomor identifikasi, deskripsi, dan material yang diperlukan dalam produksinya. Kanban juga bisa memuat informasi dimana material atau inventory dapat ditemukan, dan bahkan informasi assembly komponen. Dalam komputer berbasis lingkungan dimana intruksi kerja untuk usaha manual disediakan pada stasiun kerja oleh komputer pusat, kanban dapat mengandung kata kunci komputer sebagai keterangan instruksi.
2.      Kartu otorisasi vendor digunakan untuk menandai vendor untuk mengirim beberapa unit tertentu yang disuplai, material, dan inventory pada pembeli. Kanban ini biasanya mendata nama item persediaan pembeli, nama produk vendor, nomor identifikasi, dan ukuran pemesanan.
3.      Kartu otorisasi pengankutan digunakan untuk menandakan bahwa pihak pengangkut material diberi hak untuk memindahkan atau mengambil supply, material, atau inventory dari lokasi tertentu ke tujuan tertentu. Kanban ini biasanya mendata nama produk, nomor identifikasi, lokasi dimana item harus diambil, dan lokasi dimana item harus diantarkan.
Operasi sistem kanban biasanya sederhana. Pengeluaran dari satu kartu kanban menyebabkan produksi, vending, atau pengangkutan satu unit produk yang diinginkan; pengeluaran dari dua kartu kanban menyebabkan produksi, vending, atau pengangkutan dua unit dan sebagainya. Secara ideal cocok untuk lingkungan JIT, kanban yang dikeluarkan pada basis harian  mengijinkan tanggapan yang cepat pada perubahan kebutuhan demand pelanggan. Tidak semua (tiga) tipe kanban card harus digunakan dalam sistem kanban. Beberapa organisasi menggunakan sistem kartu tunggal, dan lainnya menggunakan sistem dual card. Tanpa menghiraukan tipe kartu mana yang digunakan, mereka memberi hak produksi, pembelian, dan perpindahan inventory seluruh organisasi.
Untuk secara sukses menggunakan kanban, suatu organisasi harus memenuhi kewajiban sebagai berikut:
1.        mempunyai demand produk jadi stabil yang wajar yang diproduksi sistem,
2.        mempunyai tipe operasi aliran produksi kontinyu,
3.        mempunyai kesediaan untuk mengikuti beberapa WIP agar berada dalam sistem sebagai prasyarat untuk memulai,
4.        mempunyai supply, material, dan inventory item yang disimpan dalam item tunggal, kontainer reusable (yaitu penampan atau kotak). Ini berarti bahwa penampan akan membawa semua dari satu tipe part komponen yang digunakan untuk memproduksi produk.
Sementara sistem kanban dapat digunakan dalam situasi yang melanggar kebutuhan, hasil yang terjadi dimana kebutuhan diamati secara teliti. Sistem kanban dapat digunakan dalam lingkungan lot produksi yang kecil dan terbatas.
Dalam sistem kanban, kartu digunakan untuk menandai transaksi. Produksi, vending, dan pengangkutan item adalah transaksi. Dalam sistem kartu tunggal hanya menggunakan kartu pengangkutan. Sekali sistem kartu tunggal ditempatkan, mudah untuk menambah kanban vendor atau produksi ke dalam sistem.

2.12     Sistem Kartu Tunggal
Untuk mengilustrasikan sistem kartu tunggal mari kita lihat pada situasi jaur kerja assembly. Seorang pekerja dalam stasiun kerja memerlukan inventory untuk melengkapi suatu produk. Sebuah kanban pengangkut dikeluarkan dari stasiun kerja menetapkan inventory yang dibutuhkan. Kanban kemudian ditempatkan pada sebuah kontainer kosong. Tindakan kanban ini untuk mencatat pengangkut material yang diperlukan inventorydan mereka berhakuntuk memperolehnya dari departemen penyimpanan persediaan. Pihak pengangkut material memindahkan kontainer yang kosong ke departemen persediaan dan meletakkannya pada titik b, menjaga kanban. Pengangkut material kemudian mengambil inventory yang diinginkan dari kontainer yang penuh pada titik c. Perhatikan, harus ada persediaan WIP atau kelebihan persediaan menunggu untuk diambil, atau pengangkut material tidak akan dapat menggunakan kanban pengangkut tertentu. Dari titik c, pengangkut material memindahkan kontainer yang penuh ke titik d dalam stasiun kerja dimana material dapat diproses oleh pekerja. Pengangkut material kemudian kembali ke titik auntuk memulai siklus kembali.
Sistem kartu tunggal bekerja selama terdapat inventory yang berlebih. Untuk diangkut ke gudang inventory. Sejak kanban digunakan sebagai dasar dalam aliran sistem produksi kontinu, inventory bisa dikurangi dengan menghilangkan kanban yang sedang berada dalam perjalanan/ proses. Contoh kasus dalam kartu tunggal, jika kita membutuhkan 3 buah pengangkut inventory kit harus memiliki 3 kanban. Jika kita memiliki sistem kanban berjalan dan menginginkan untuk menghilangkan kelebihan inventory dalam sistem mungkin kita hanya akan membutuhkan 2 kanban, walau kenyatannya kita tetapa menggunakan 3 kanban. Efek bagi sistem operasi akan mengurangi 1 pengangkutan dalam inventory yang ada dalam proses.
Sistem kartu tunggal paling tepat digunakan dalam opeasi berulang dimana komponen yang sama dibuat oleh pekerja yang sama setiap hari. Sistem ini bekerja optimal dengan standarisasi, unitary, atau JIT yang terbatas dalam penggunaan pengangkut. Jika kita produksi, sebagai contoh sebuah radio. Jika sebuah pengangkut hanya berisi 1 komponen untuk merakit 1 radio. Namun perusahaan berfikir lain bagaimanakah jika 5 radio merupakan ukuran lot yang paling ekonomis, maka 1 pengangkut tersebut harus mengangkut komponen untuk 5 radio.

2.13     Sistem Kartu Ganda
Dalam sistem kartu ganda kita menggunakan 2 atau lebih tipe kartu kanban. Untuk menggambarkan sistem kartu ganda dalpat dilihat pada gambar 3.7 b. Sesekali inventory atau material dikirim pada titik 2, mungkin mereka akan rusak ketika proses pengangkutan, yang mengirimkan mereka pada kontaimner yang kosong. Banyak vendor yang melayani perusahaan pengguna kanban menyediaka material ini untuk mengurangi/ mempersingkat aktifitas komponen dalam pelayanannya. Kontainer kosong didapat dari poin 2 oleh vendor untuk menyimpan material. Setelah kontainer bergerak, vendor kanban dilepas dan dikirim ke vendor berikutnya dimana sistem tersebut berulang.
Sistem kanban sangat sukses digunakan oleh banyak perusahaan. Salah satunya batas puncak, yang sangat tergantung pad partisipasi opersi produksi. Jika partisipan menghilangkan kartu maka manajemen akan lepas kendali dan sistem secara komplit akan rusak untuk beberapa saat. Untungnya, dalam sistem kanban, audit kartu nama dapat diperbaiki sangat cepat asal setiap manager dapat menghitung masing-masing kartu ditiap departemen.

BAB III
STUDI KASUS


3.1       Keterbatasan Sistem JIT dalam Perkembangan Usaha Kecil
Sering kita temui literatur yang membahas tentang konsep penggunaan metodeJust in Time (JIT) dalam perusahaan-perusahaan besar seperti pada perusahaan Yamaha, KFC, Daihatsu, dan Toyota yang kapasitas produksinya dapat dikategorikan besar pertahunnya. Selain dari perusahaan manufaktur tersebut, sistem just in time pun juga mulai merambat ke perusahaan industri lainnya dan juga menarik penyedia jasa untuk mengadopsi sistem tersebut. Usaha jasa tersebut antara lain, meubel, gerai makanan siap saji ( fast food restaurant), kedai kopi dan lain-lain.
Dalam penerapannya, JIT mampu mengefisienkan biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan terutama pada biaya untuk penyimpanan persediaan. JIT dipandang dapat mengurangi persediaan karena penimbunan persediaan dipandang sebagai pemborosan. Akan tetapi hal ini berbeda dengan kenyataan pada usaha kecil yang sering kita temui yaitu usaha warteg. Usaha warteg dapat menjadi representasi usaha kecil yang telah mengakar sebagai usaha yang menjadi andalan masyarakat dan dapat kita temui hingga pelosok Indonesia. Usaha warteg biasanya dimiliki dan dikontrol oleh keluarga sehingga usaha warteg lebih mengandalkan unsur permodalan dari dalam keluarga.
Dalam studi kasus kali ini, usaha warteg dianggap cukup mewakili dalam hal penggunaan sistem JIT dalam usaha-usaha kecil sejenisnya. Proses bisnis warteg sebenarnya telah mengadopsi teknik JIT terutama dalam persediaan bahan bakunya. Teknik JIT dalam usaha warteg sendiri dilakukan secara sederhana dengan keterbatasan sumber daya manusia. Hal yang paling tampak penggunaan teknik JIT pada proses bisnis warteg adalah terkait manajemen persediaan  bahan baku dari produk-produk warteg itu sendiri. Faktor biaya yang timbul dari persediaan bahan baku memberikan dampak yang signifikan terhadap laba dari usaha warteg itu sendiri. Tentunya teknik JIT yang telah digunakan oleh warteg juga berpengaruh dalam perkembangan bisnis warteg. Dalam perkembangannya, secara tidak langsung bisnis warteg sulit untuk berkembang jika menggunakan sistem JIT. Sistem JIT menyebabkan konsekuensi harga persediaan bahan baku yang berfluktuasi dan cenderung meningkat yang secara otomatis apabila harga bahan baku naik harga dari produk yang dihasilkan warteg itu juga mengikuti harga pasar. Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan, di mana warteg di Indonesia memiliki pasar masyarakat menengah ke bawah yang sensitif terhadap harga sehingga warteg cenderung akan mempertahankan harga dan kualitas agar tidak kalah bersaing dengan warteg lainnya.
Hal inilah yang menyebabkan keuntungan warteg akan menurun jika harga naik dan sulit untuk mengurangi penurunan keuntungan karena warteg akan berusaha untuk terus mempertahankan harga dan kualitas. Bahan baku yang sebagian besar berasal dari produk mentah pertanian dan peternakan yang cepat busuk juga mempengaruhi penggunaan teknik JIT dalam pengaturan persediaan. Permasalahan di atas yang dapat menjadi pembatas usaha warteg dalam berkembang. Dalam tulisan ini, pembahasan kasus JIT pada warteg menggunakan asumsi bahwa warteg hanya melakukan usaha penyediaan makanan dan minuman tanpa adanya delivery order sehingga mengabaikan biaya pengiriman kepada pelanggan.

3.1.1    Metode Just in Time
Sistem kendali persediaan JIT pertama kali dikembangkan di Jepang oleh Taiichi Okno, Vice President Toyota. Pada awalnya sistem ini disebut sistem Kanban, sesuai dengan nama kartu yang ditempatkan pada wadah komponen yang telah dipakai untuk memperlihatkan kebutuhan akan pasokan barang. Gagasan di balik sistem ini adalah bahwa perusahaan seharusnya menjaga persediaan pada tingkat minimal dan mengandalkan pemasok untuk mengisi kembali persediaan “seketika = just in time” persis sebelum dipakai di jalur perakitan atau produksi. Ini sangat berbeda dengan filosofi Amerika Serikat yang kadang kala disebut Just in Case yakni menjaga stok pengaman pada tingkat tertentu untuk menjamin agar produksi tidak mengalami interupsi atau penghentian produksi secara tiba-tiba. Sekalipun persediaan yang banyak tidak menjadi masalah besar pada saat tingkat bunga sedang rendah, tetapi akan menjadi sangat mahal manakala bunga sedang tinggi.
Ditinjau dari pengertiannya, Just in Time (JIT) adalah filosofi yang dipusatkan pada pengurangan biaya melalui eliminasi persediaan. Semua bahan baku dan komponen lainnya sebaiknya tiba di lokasi kerja pada saat dibutuhkan. Produk yang diproduksi dalam JIT sebaiknya diselesaikan dan tersedia bagi pelanggan di saat pelanggan menginginkannya. Eliminasi persediaan di satu pihak dapat menghilangkan kebutuhan akan penyimpanan dan biaya penyimpanan. Namun, di lain pihak eliminasi persediaan tersebut juga menghilangkan perlindungan yang disediakan oleh persediaan terhadap kesalahan oleh produksi dan ketidakseimbangan jumlah output yang diminta oleh pelanggan. Akibatnya, diperlukan beban kerja bermutu tinggi dan seimbang dalam sistem JIT guna menghindari penghentian produksi yang berbiaya mahal serta kekecewaan pelanggan atas jumlah output yang tidak sesuai. Oleh karena membutuhkan kualitas dan output produksi yang seimbang, JIT seringkali dikaitkan dengan usaha untuk mengeliminasi pemborosan dalam segala bentuk, dan merupakan bagian yang penting dalam banyak usaha Total Quality Management.
Just in Time dapat juga diartikan sebagai suatu keseluruhan filosofi operasi manajemen di mana segenap sumber daya dipakai hanya sebatas yang dibutuhkan atau dengan kata lain menghasilkan sebuah produk hanya jika dibutuhkan, hanya dalam kuantitas dan kualitas yang diminta oleh pelanggan yakni disesuaikan waktu, jumlah, dan kualitasnya dengan tepat. Sistem JIT juga merupakan salah satu upaya untuk mengurangi atau menghilangkan persediaan dalam hal ini adalah bahan baku, barang antara (Work in Process), dan barang jadi dalam usaha untuk memangkas biaya-biaya tersebut. Penerapan Just in Time bertujuan untuk meningkatkan keuntungan atau profit dengan cara sebagai berikut:
1.        Meningkatkan produktivitas;
2.        Mengurangi pemborosan.
Dengan adanya tujuan tersebut dibutuhkan beberapa aspek fundamental dalam penerapannya. Berikut aspek-aspek tersebut:
1.        Menghilangkan seluruh aktivitas yang tidak ada / memberikan nilai tambah bagi sebuah produk atau jasa.
2.        Komitmen manajemen dengan karyawan terhadap mutu yang tinggi.
3.        Upaya perbaikan yang berkelanjutan.
4.        Penekanan pada penyederhanaan.
Dengan demikian diharapkan tujuan-tujuan perusahaan terutama dalam meningkatkan laba dengan cara meminimalkan biaya, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan output dapat tercapai. Adapun beberapa karakteristik yang membedakan JIT dengan sistem lainnya adalah:
1.        Sistem tarik
2.        Output tetap
3.        Persediaan tidak signifikan
4.        Pemasok yang sedikit jumlahnya
5.        Adanya kontrak dengan pemasok jangka panjang
6.        Tenaga kerja mutifungsi
7.        Total Quality Management
8.        Dominasi penelusuran langsung (perhitungan biaya produk)

3.1.2    Keunggulan dan Kelemahan Sistem JIT
Keunggulan dari metode ini adalah dapat mengurangi biaya tenaga kerja, persediaan, risiko kerusakan, dan peningkatan kualitas produk. Keunggulan tersebut seiring dengan adanya Total Quality Management dalam penerapan sistem JIT sehingga risiko kerusakan dapat ditekan dan kerugian akibat retur barang rusak oleh pelanggan dapat dikurangi karena Total Quality Managementjuga menitikberatkan pada peningkatan kualitas dari produk.  Selain itu, biaya tenaga kerja dapat ditekan karena jumlah persediaan diusahakan menjadi seminim mungkin sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan dalam mengawasi tidak perlu dalam jumlah yang banyak. Biaya penyimpanan juga dapat ditekan hingga seminimal mungkin akibat dari persediaan yang disimpan juga sedikit.
Kelemahan dari metode ini adalah sulit mencari pemasok, biaya pengiriman tinggi, kesulitan menghadapi perubahan permintaan, tuntutan sumber daya manusia yang multifungsi, dan perlengkapan teknologi yang membutuhkan biaya besar. Dalam JIT pemasok merupakan faktor penting dalam persediaan di mana selain berpengaruh terhadap penyediaan persediaan stok juga berpengaruh dalam harga dari persediaan yang akan dibeli. Permasalahannya adalah sulitnya mencari pemasok terutama usaha seperti warteg. Hal inilah yang menjadi kendala warteg dalam mengendalikan harga persediaan. Harga persediaan secara langsung akan mempengaruhi harga pokok produksi. Semakin tinggi harga beli persediaan akan turut meningkatkan harga pokok penjualan.
Jika ingin keuntungan meningkat, maka warteg harus menaikkan harga. Namun, warteg akan lebih memilih harga yang tetap agar dapat bersaing dengan harga di warteg lain. Pelanggan menjadi prioritas utama dalam bisnis usaha warteg. Sebab menggunakan JIT, warteg menjadi kesulitan dalam meramalkan permintaan. Hal ini juga akan menjadi biaya yang terbuang percuma jika warteg tidak dapat menjual seluruh produksi yang telah ditetapkan. Terkait dengan bagaimana untuk mengecilkan biaya-biaya seperti biaya penyimpanan, sistem JIT justru tinggi. Hal ini dikarenakan adanya permintaan barang untuk dikirim dalam waktu yang terkadang tidak dapat ditentukan dan cenderung tiba-tiba sehingga dalam prakteknya biaya pengiriman relatif lebih tinggi.
Sistem JIT juga mewajibkan akan adanya teknologi yang tinggi. Sebab, dengan permintaan yang cenderung cepat dan tiba-tiba serta tidak membutuhkan waktu yang relatif lama maka teknologi tinggi serta sumber daya manusia yang multifungsi merupakan hal yang sangat penting untuk dipenuhi. Namun, sayangnya dalam penerapannya kedua hal tersebut sulit untuk dipenuhi karena keterbatasan dalam penerapan teknologi dan sulit mencari sumber daya yang berkompeten dan multifungsi.

3.1.3    Warteg (Warung Tegal)
Warteg adalah usaha berskala menengah ke bawah yang usahanya bergerak dibidang food and beverage dan merupakan salah satu jenis usaha gastronomi yang menyediakan makanan dan minuman dengan harga terjangkau yakni untuk melayani masyarakat menengah ke bawah. Usaha warteg biasanya dimiliki dan dikelola oleh keluarga atau kerabat dekat sehingga usaha ini biasanya menanamkan nilai-nilai kultur dalam keluarga. Warteg telah menjadi bisnis keluarga yang membudaya di Indonesia dan dapat ditemui hingga pelosok daerah.
          Proses produksi warteg dimulai dari proses pembelian bahan-bahan masakan dengan jumlah yang telah disesuaikan dengan permintaan pelanggan. Permintaan pelanggan tersebut disesuaikan berdasarkan pengalaman penjualan makanan dan minuman rata-rata dalam satu hari. Jumlah ini ditaksir secara tetap perharinya dalam setiap melakukan proses produksi. Proses selanjutnya adalah mengolah bahan-bahan tersebut untuk dapat diproduksi menjadi output berupa makanan dan minuman. Dalam proses produksi ini, bahan-bahan yang telah dibeli diusahakan semuanya diproduksi menjadi output dan tidak ada yang menjadi persediaan bahan baku sehingga terjadi keefisienan dalam pengolahan tempat penyimpanan bahan baku. Proses berikutnya dari alur usaha warteg adalah melakukan penjualan makanan dan minuman yang telah diproduksi tadi. Penjualan ini dilakukan secara langsung kepada pelanggan dan tidak ada proses pengiriman makanan dan minuman kepada pelanggan secara langsung atau sering dikenal dengan nama delivery order.

3.1.4    Penerapan JIT pada Warteg
          Sistem JIT yang kerap digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar ternyata telah ada dalam proses produksi warteg. Penerapan JIT dalam warteg terlihat pada alur persediaan. Ketika melakukan pembelian bahan baku untuk produksi, warteg berusaha untuk membelinya dengan jumlah yang telah ditentukann dan relatif tetap untuk setiap pembelian setiap harinya sebagai karakteristik utama dari sistem JIT. Selain itu, penerapan sistem ini dapat dilihat ketika usaha warteg melakukan kontrak pembelian dengan pemasok yakni biasanya pemilik warteg telah mengenal baik pemasok dan telah menjalin hubungan kerjasama dalam waktu yang cukup lama dan ini juga merupakan karakteristik utama dari sistem JIT.
Pengusaha warteg berusaha seminimal mungkin untuk menekan biayaincremental terkait proses penyimpanan persediaan bahan baku. Hal ini disebabkan bahan baku dari produk yang diproduksi warteg sebagian besar tidak tahan lama karena bahan baku diperoleh langsung dari hasil produksi kegiatan agraris seperti sayuran, daging, telur, dan lain-lain. Oleh karena itu, pengelola warteg cenderung membeli bahan mentah sesuai dengan jumlah output yang ingin dihasilkan sesuai permintaan rata-rata harian. Terkadang ada warteg yang memang tidak melakukan penyimpanan persediaan, dengan kata lain bahan mentah yang dibeli harus cepat habis.
Sistem JIT yang diterapkan seperti ini sangat rentan ketika terjadi fluktuasi harga bahan baku produksi sebab dengan adanya fluktuasi harga maka biaya terkait bahan baku akan meningkat dan menyebabkan meningkatnya harga pokok penjualan. Oleh karena bisnis warteg tergolong dalam pasar persaingan sempurna, masing-masing warteg akan berusaha untuk tetap menjaga harga produk makanan dan minuman yang diproduksi agar tetap pada harga pasar sehingga profit yang seharusnya didapatkan menjadi berkurang. Akibat profit yang cenderung berfluktuatif akibat harga pasaran bahan baku dan kesulitan untuk meramalkan permintaan secara tepat yang berakibat pada biaya produksi  yang terbuang  percuma maka usaha warteg sulit melakukan ekspansi usaha lantaran profit merupakan sumber investasi internal yang menjadi andalan pengelola dan pemilik warteg.

3.1.5    Kesimpulan
            Sistem JIT yang dipandang sebagai sistem yang mampu berperan dalam meminimalkan biaya, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan output, ternyata tidak sepenuhnya berpengaruh pada semua jenis usaha. Studi kasus di atas menunjukkan bahwa penerapan sistem JIT ternyata dapat membatasi perkembangan suatu usaha terutama usaha kecil misalnya usaha warteg pada khususnya. Hal ini diterangkan melalui sistem harga bahan baku di pasar yang fluktuatif, kesulitan menghadapi perubahan permintaan, sulit mencari pemasok yang selalu siap dalam melakukan transaksi terkait penyediaan persediaan bahan baku, sistem persaingan sempurna yang membuat harga bersifat rigid.

3.2       Studi Kasus Sistem Produksi JIT Pada Restoran
The 100 Yen Sushi House bukanlah sebuah restoran biasa. Restoran ini memiliki produktivitas yang sangat tinggi di Jepang. Saat kita memasuki restoran tersebut, kita akan disambut dengan kata-kata “iratasai”, sebuah ucapan selamat datang dari siapapun yang bekerja dalam toko tersebut – baik yang memasak, pelayan, pemilik, dan anak-anak pemiliknya. Rumah ini memiliki ciri kas berbentuk elipsoid yang melayani daerah di pertengahan ruangan, dimana tiga atau empat koki yang sibuk mempersiapkan sushi. Sekitar 30 tempat duduk mengelilingi daerah penyajian. Kita duduk di konter dan langsung disuguhi segelas “misoshiru”, yang merupakan sebuah sop pasta kacang, sepasang sumpit, segelas the hijau, sebuah piring kecil untuk membuat saus, dan sebuah lempeng china untuk memegang sumpit.
Sejauh ini, pelayanan ini adalah pelayanan rata-rata untuk sushi house. Selanjutnya, ditemukan hal-hal yang khusus. Ada sebuah pengangkut barang yang selalu mengelilingi area pelayanan yang berbentuk elipsoid. Seperti sebuah boneka yang memiliki rel untuk berjalan. Pada pengangkut tersebut terdapat sebuah kereta piring sushi. Anda bisa menemukan jenis sushi apapun yang anda inginkan – mulai dari jenis rumput-laut atau octupus yang paling murah sampai hidangan salmon atau udang mentah yang mahal. Akan tetapi, harganya semua sama, yakni 100 yen per piring. Jika diperiksa lebih dekat, ditemukan bahwa porsi rumput laut yang murah memiliki 4 potongan, sedangkan yang lebih mahal memiliki dua potongan.  
Selanjutnya ada seorang pria membawa 8 piring dengan rapi. Ketika dia akan pergi, kasir mengamatinya dan berkatan, “800 yen”. Kasir tidak memiliki kas register, karena dia hanya menghitung jumlah piring kemudian mengalikannya dengan 100. Pada saat pelanggan pergi, terdengar ucapan “Arigato Gosaimas” (terima kasih), dari semua pekerja. Operasi harian pemilik didasarkan pada analisis informasi secara cermat. Pemiliki memiliki ringkasan informasi permintaan yang lengkap tentang tipe-tipe piring sushi yang berbeda, sehingga dia mengetahui secara pasti berapa banyak dari masing-masing piring sushi yang harus dipersiapkan dan kapan. Lebih lanjut, operasi seluruhnya diasaran pada prinsip produksi berulang dengan just-in-time yang sesuai dan sistem kontrol kualitas. Sebagai contoh, toko tersebut memiliki kapasitas refrigerator yang sangat terbatas (kita dapat melihat beberapa ikan atau octopus dalam wadah gelas di depan konter). Sehingga, toko ini menggunakan sistem kontrol inventaris just-in-time. Ketimbang meningkatkan kapasitas refrigeratordengan membeli sistem-sistem refrigerator baru, perusahaan bekerjasama dengan penjaja ikan untuk mengirim ikan segar beberapa kali dalam sehari, sehingga material tiba tepat ketika akan digunakan untuk membuat sushi. Dengan demikian, biaya inventarisnya minimal.
Dalam sistem operasi just-in-time, prinsip stok aman tidak terlalu diperhitungkan. Dengan kata lain, stok aman akan dihilangakan secara perlahan, untuk masalah-masalah tidak teratasi dan kemungkinan solusinya. Ruang lantai yang tersedia adalah untuk pra pekerja dan perlengkapan yang diperlukan tapi tidak untuk menyimpan inventaris. Di perusahaan 100 Yen Sushi House, para pekerja dan pelengkapannya diposisikan begitu dekat sehingga pembuatan sushi dilakukan dari tangan ke tangan dan bukan sebagai operasi independen, Tidak adanya dinding-dinding invetaris memungkinkan para pemilik dan pekerja untuk terlibat dalam operasi total,, mulai dari menyambut pelanggan sampai menyediakan apa yang dipesan. Tugas mereka sangat saling terkait dan setiap orang akan bekerja sama dalam mengatasi sebuah masalah agar tidak menjadi masalah besar dalam proses kerja.
The 100 Yen Sushi House merupakan sebuah operasi intensif-pekerja, yang paling banyak didasarkan pada kesederhanaan, dan akal sehat ketimbang teknologi tinggi, sebaliknya dengan persepsi orang-orang Amerika. Penulis begitu terkesan. Setelah penulis menghabiskan piring ke-lima, saya melihat piring sushi octopus berputar untuk yang ketigapuluh kalinya. Mungkin gambaran umum dari sistem ini telah diketahui. Sehngga penulis menanyakan kepaa pemilik bagaimana cara merawat masalah kebersihan ketika piring sushi berputar sepanjang hari. Dia tersenyum dan berkata “Iyya pak, kami tidak pernah membiarkan piring-piring sushi kami tidak terpakai lebih dari 30 menit”. Kemudian dia menggaruk kepala dan mengatakan, “Jika salah satu dari empat karyawan kami istirahat, dia bisa mengambil piring yang tidak terjual tersebut dan memakannya atau membuangnya. Kami sangat serius tentang masalah kualitas sushi kami.”
The 100 Yen Sushi Huose merupakan sebuah mikrokosmos dari sifat-sifat yang mencerminkan pendekatan manajemen produksi yang paling signifikan pada masa pasca Perang Dunia II, yaitu produksi just-in-time (JIT). Dikembangkan oleh orang Jepang, pendekatan ini mengintegrasikan lima P dari OM untuk merampingkan produksi barang-barang berkualitas tinggi dan pelayanannya. Seperti TQM, hampir setiap organisasi industri modern telah menggunakan sekurang-kurangnya beberapa elemen JIT dalam desainnya.
Bab ini terkait dengan logika JIT. Bab ini juga merinci pendekatan-pendekatan terhadap implementasi JIT dan aplikasinya JIT dalam organisasi jasa. Sebuah versi klasik dari Kenneth A. Wantuck menjelaskan elemen-elemen JIT sebagaimana yang digunakan oleh orang-orang Jepang utnuk meningkatkan produktivitas. JIT (Just-in-Time) merupakan sekumpulan aktivitas terpadu untuk mencapai produksi bervolume tinggi dengan menggunakan inventaris bahan baku yang minimal, kerja dalam proses, dan barang jadi. Bagian-bagian produk tiba di stasiun kerja selanjutnya 'tepat waku” dan diselesaikan serta berpindah dalam operasi dengan cepat. Just-in-time juga didasarkan pada logika bahwa tidak ada yang akan dihasilkan sebelum diperlukan. Exhibit 6.1 mengilustrasikan proses ini. Kebutuhan dilahirkan oleh produk yang diminta oleh para penggunanya. Ketika sebuah item dijual, meurut teori, maka pasar akan menarik sebuah pengganti dari posisi terakhir dalam sistem – perakitan akhir dalam hal ini. Ini memicu sebuah order ke saluran produksi pabrik dimana seorang pekerja kemudian menarik unit lain dari sebuah stasiun hulu  dalam aliran utunuk mengganti unit yang diambil. Stasiun hulu kemudian menarik

3.2.1   Kesimpulan
Dalam menangani tingginya biaya, menurunnya laba, dan menajamnya persaingan telah mengakibatkan perusahaan mencari cara-cara untuk merampingkan kegiatan usaha mereka dan mengumpulkan lebih banyak data akurat untuk tujuan pengambilan keputusan. Oleh karena itu muncullah ide Just In Time (JIT) yang hanya memproduksi apabila ada permintaan. Akibatnya pemborosan dapat dihilangkan dalam skala besar, yaitu berupa perbaikan kualitas dan biaya produksi yang lebih rendah. Tujuan utama JIT adalah untuk meningkatkan laba dan posisi persaingan perusahaan yang dicapai melalui usaha pengendalian biaya, peningkatan kualitas, serta perbaikan kinerja pengiriman.
Prinsip dasar JIT adalah meningkatkan kemampuan secara terus-menerus untuk merespon perubahan dengan meminimisasi pemborosan. Ada empat aspek pokok dalam sistim JIT yaitu:
1.        Menghilangkan semua aktivitas atau sumber-sumber yang tidak memberikan nilai tambah terhadap produk.
2.        Komitmen terhadap kualitas prima.
3.        Mendorong perbaikan berkesinambungan untuk meningkatkan efisiensi.
4.        Memberikan tekanan pada penyederhanaan aktivitas dan peningkatan visibilitas yang memberikan nilai tambah.
Persediaan JIT adalah untuk sistem persediaan yang dirancang guna mendapatkan barang secara tepat waktu. Pada persediaan JIT mensyaratkan bahwa proses atau orang yang membuat unit-unit rusak dapat dikirim untuk menunggu pengerjaan ulang atau menjadi bahan sisa. Sistim JIT menghapus kebutuhan akan persediaan karena tidak ada produksi sampai barang akan dijual. Hal ini berarti bahwa perusahaan harus mempunyai pesanan terus menerus agar dapat berproduksi Dalam system JIT menerapkan untuk membeli barang hanya dalam kuantitas yang dibutuhkan saja. Untuk itu perusahaan harus mengikat kontrak panjang kepada pemasok agar bersedia mengirimkan barang yang kita pesan sesering mungkin. Hal ini agar tidak adanya persediaan di gudang.
Produsi JIT adalah suatu sistem dimana tiap komponen dalam jalur produksi menghasilkan secepatnya saat diperlukan dalam langkah selanjutnya dalam jalur produksi. Perusahaan harus memproduksi barang sesuai dengan jumlah pesanan agar tidak adanya persediaan.
Pada system JIT perusahaan harus meningkatkan kualitasnya agar dapat bersaing dengan perusahaan yang lain. Untuk perusahaan harus memperhatikan kualitas mutunya. Dalam pengiriman barang dalam JIT harus tepat waktu, sesuai dengan jumlah pesanan dan dengan kualitas yang bermutu tinggi. Karena hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan produksi. Jika pelanggan senang maka ia akan sering melakukn pesanan terhadap perusahaan produksi dan sebaliknya jika pelanggan tidak puas maka pelanggan akan memilih ke perusahaan produksi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA


Tjiptono, Fandi dan Diana Anastasia. Total Quality Management, Yogyakarta : Andi Offset, 1994.

Carter, William K. 2009. Akuntansi Biaya. Salemba Empat. Jakarta
Cherrington, Hubbard & Luthy, Cost Accounting, San Fransisco: West Publishing Company, 1994.
Deakin, Maher, Akuntansi Biaya, Ed. 4, Jakarta : Erlangga, 1996.
Gayle, Raybun, Akuntansi Biaya Dengan Menggunakan Pendekatan Manajemen Biaya, Ed. 6, Yokyakarta : Erlangga, 1999.
Hay, Edward, The Just In Time Breakthough, New York : Rath, 1998.
Hansen & Mowen, Akuntansi Biaya, Ed. 4, Jakarta : Salemba Empat, 2000.
Handoko, T. Hani. 2003. Manajemen. BPFE-Yogyakarta. Yogyakarta
Keown, Arthur J. dkk. 2005. Prinsip dan Penerapan Manajemen Keuangan. Gramedia. Jakarta
Mulyadi, Akuntansi Manajemen, Ed. 5, Jakarta : Salemba Empat, 1999.
Milton, F. Usry, Akuntansi Biaya Perencanaan dan Pengendalian, Yogyakarta: Erlangga, 1999.
Simamora, Henri, Akuntansi Manajemen, Jakarta : Salemba Empat, 1999.
















1 komentar: